29 C
Semarang
, 21 September 2023
spot_img

Reresik Dosa di Tradisi Gebyuran Bustaman

Semarang, Jatengnews.id – Empat penari membawa kipas tangan liak liuk menari diiringi gambang Semarang. Mereka menari penuh energik dalam pembukaan perayaan tradisi Gebyuran Bustaman di Kota Semarang.

Setelah itu, berjejer sejumlah anak-anak berpakaian adat jawa Semarangan disiram dengan air kembang setaman. Aroma wangi langsung semerbak mengiringi prosesi tersebut.

Gebyuran Bustaman merupakan tradisi turun temurun di Kampung Bustaman. Kampung ini adalah salah satu kampung lama di pusat Kota Semarang yang masih mampu eksis di tengah pembangunan Kota Semarang. 

Tradisi di kampung yang berada di Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah ini telah berusia ratusan tahun dan mempunyai nilai-nilai seni dan kehidupan yang tinggi. 

Kegiatan Gebyuran Bustaman dilaksanakan setiap tahun ketika menjelang Bulan Ramadan. Tahun ini, kegitan tersebut digelar dengan menerapkan protokol kesehatan dan dibatasi karena masih suasana pandemi Covid-19.

Kegiatan diawali dengan penampilan seniman di Kota Semarang dengan menggunakan panggung di tengah-tengah kampung. Selain itu, setiap peserta yang datang di coreng menggunakan bedak bayi atau body pointing sebagai lambang dosa, dilanjutkan dengan ritual memandikan anak kecil oleh sesepuh dan tamu kehormatan. 

Pada tahun ini, rangkaian Tradisi Gebyuran Bustaman dilaksanakan tanggal 8 – 12 April 2021 dengan puncak acara yaitu ritual reresik dosa dengan memandikan anak kecil.

Kegiatan itu berlangsung pada Sabtu (10/4/2021) kemarin, dan dihadiri oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar),  Indriyasari.

Namun, tahun ini urung dilaksanakan ritual “Perang Air” antar warga yang sebetulnya menjadi acara paling seru. Hal tersebut karena pertimbangan situasi pandemi covid 19 dan dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan.

Kepala Disbudpar Kota Semarang, Indriyasari berpesan bahwa setiap kampung di Kota Semarang memiliki keunikan tersendiri. Termasuk Kampung Bustaman yang memiliki sejarah untuk dijaga dan dirawat, sekaligus diceritakan agar tidak dilupakan generasi muda.

“Untuk itu butuh dukungan dari masyarakat dan Pemkot Semarang untuk bergerak bersama dlm melestarikan Tradisi ini,” ucapnya saat menghadiri kegiatan tersebut.

Sementara itu, Kepala Seksi Museum dan Konservasi Budaya Farah Utasariyani menyampaikan, untuk melestarikan tradisi budaya Gebyuran Bustaman, Disbudpar Kota Semarang sedang dalam proses mendaftarkan Gebyuran Bustaman sebagai Warisan budaya tak benda di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

“Ke depannya, tradisi ini juga akan di – Scaling Up menjadi event tahunan yang memiliki daya jual untuk menjadi destinasi wisata budaya nasional” ujarnya.

Sesepuh Kampung Bustaman, Hari mengatakan bahwa tradisi Gebyuran Bustaman tidak lepas dari tokoh di Kampung ini yaitu Kyai Bustam. Yaitu dengan menggali sumur tua pada tahun 1743.

“Mulai kita lestarikan sejak 2013 dengan inovasi. Dulu menggunakan gayung kayu, siwur, dan sekarang kita kembangkan inovasi dengan perang air. Namun karena situasi pandemi kita lakukan secara sederhana namun tetap kita lakukan penyiraman air supaya ritualnya tetap terjaga,” ucapnya. (Majid-01).

Berita Terkait

Berita Terbaru

- Advertisement -spot_img

Berita Pilihan