Demak, Jatengnews.id – Syawal adalah salah satu bulan dalam kalender Islam. Kata syawalan sendiri berasal dari bahasa Arab, “Syawal” ditambah akhiran “an”, menjadi Syawalan.
Syawalan menjadi tradisi bermaaf-maafan setelah hari raya Idul Fitri. Tradisi Syawalan pun digelar rutin seminggu setelah Shalat Idul Fitri, atau hingga Lebaran Ketupat pada hari ke-tujuh bulan Syawal. Sementara untuk daerah Pantura seperti Kabupaten Demak, Syawalan dikenal juga dengan sedekah laut.
Menurut Plt UPTD Museum Dindikbud Demak Ahmad Widodo, ketupat yang menjadi hidangan dalam hari raya besar (Idul Fitri) dan lebaran kecil (Kupatan) tidak luput dari ajaran Sunan Kalijaga. Dalam tradisi Jawa, ketupat yang memiliki empat sudut itu dimaknai sebagai Kakang Kawah Adi Ari-Ari Sedulur Papat Siji Pancer yakni dalam diri seseorang itu pada dasarnya dikuasai oleh empat bayangan atau warna.
“Pertama warna hitam, itu berkaitan tentang hawa nafsu kegelapan yang dinilai tidak baik, kedua merah itu suatu keberanian, kemudian kuning ini suatu hawa nafsu yang mengaitkan tentang keagamaan dan kejiwaan, lalu putih dia netral suci atau semeleh berdiam diri,” terangnya saat ditemui Jatengmews.id.
Dari empat warna yang selalu melekat dalam diri manusia, dipastikan dalam perilakunya sehari-hari ada hal-hal yang tidak berkenan saat bersosialisasi. Maka setelah Idul Fitri disitulah ajang untuk memaafkan yang dilambangkan dengan ketupat ‘Mohon Lepat’ agar kelepatan atau kesalahan dimusnahkan dan dimaafkan.
“Kupat yang terbuat dari janur itu juga melambangkan suatu lambang kebahagiaan. Dimana ada janur disitu pasti ada keramaian, karena jaman dahulu itu kalo ada janur pasti ada kebahagiaan. Misal nikahan pasti ada janur, orang mitoni ada janurnya. Sedangkan orang bancakan (slametan) kesembilan bulan kehamilan sudah berupa kupat dan dibelah, artinya sudah mau akan lahir,” jelasnya.
Masyarakat Jawa yang telah mengetahui manfaat kelapa dari ujung hingga akarnya, juga menjadikan ‘Cengkir’ atau buah kelapa yang masih sangat muda dimaknai dengan ‘kencenge pikir’ (kekuatan berpikir) dengan di imbangi niat yang bulat, sikap yang teguh, dan pikiran yang lurus.
“Sementara sedekah laut yang dilakukan masyarakat pesisir Demak yang digelar ditepi pantai, ditengah, maupun ditempat lainya itu tidak ada masalah, yang jelas itu adalah ungkapan rasa syukur kepada Allah yang telah menganugerahkan rezeki lewat laut yaitu berupa ikan,” paparnya.
Dimungkinkan ketupat telah ada dan digunakan untuk merayakan tradisi di Jawa sebelum pra Islam. Karena identitas masyarakat Jawa pra Islam telah identik dengan tradisi melarung kepala kerbau hingga bancakan. Kemudian Sunan Kalijaga mengakulturasi kegiatan upacara adat Jawa dengan Islam sehingga memiliki banyak makna dan dapat diterima masyarakat.
“Isi ketupat itu pasti beras putih karena sebenarnya jiwa seseorang walaupun orang itu jahat atau rampok, dia setelah mau kembali atau meninggal dunia itu harapannya ingin masuk surga, ingin menjadi putih lagi meskipun awal lahirnya putih terus dalam perkembangan menjadi hijau, kuning, hitam, merah dan sebagainya,” terangnya.
“Seperti Kanjeng Sunan Kalijaga yang suka memakai baju hitam, hidup di dunia ini pasti kotor, segala sesuatunya kena najis, kena berbagai macam kotoran. Namun pada dasarnya manusia itu putih (suci), sehingga pakaian sunan walaupun diluar warna hitam namun di dalamnya memakai warna putih. Nah ini menandakan bahwa dirinya adalah suci dalam hatinya ingin bersih walaupun diluar terlihat kotor.” tutupnya. (Nizar-01).