Semarang, Jatengnews.id – Tersimpan cerita haru pada saat pengukuhan Prof. Dr. Ir. Hargono, M.T. menjadi Guru Besar Faklutas Teknik (FT) Universitas Diponegoro (UNDIP) di hari Selasa (25/5/2021).
“Secara mental sebenarnya saya tidak siap mengikuti pengukuhan sebagai guru besar saat ini. Orang yang saya cintai dan memberikan dukungan penuh untuk pencapaian akademik ini baru saja pergi meninggalkan saya untuk selama-lamanya. Karena itu, saya persembahan gelar ini untuk perjuangan istri saya,” tutur Prof. Hargono.
Ternyata, lelaki kelahiran 26 November 1956 tersebut ditinggal pergi untuk selama-lamanya oleh istri tercinta, Yulrina Wulansari pada 21 Januari 2021. Diketahui, wanita yang dicintainya harus pergi setelah selang enam bulan terdeteksi mengidap kanker.
Meski masih berkutat dalam waktu yang tidak mudah, mengingat begitu besarnya dorongan sang mendiang sewaktu masih berada di sisinya, dirinya memantapkan hati mengikuti inagurasinya sebagai profesor ke-17 di Teknik Kimia Undip.
“Sungguh ini berkah bagi saya. Di antara 21 profesor yang dikukuhkan, saya yang paling banyak umurnya. Ibaratnya ini bisa saya raih pada injury time,” kata Hargono.
Dirinya mengungkapkan, perjuangannya menempuh jalan meraih gelar profesor bukanlah hal yang mudah. Gelar doktor yang sekarang menjadi salah satu syarat utama untuk mendapatkan gelar profesor dari pemerintah, baru ditempuhnya di tahun 2014. Padahal, dirinya sudah berada di batas waktu menjelang saat pensiun ketika akan lulus.
Namun, berkat keuletan dan semangatnya, syarat 3 tahun setelah lulus S3 yang nyaris jatuh tempo bisa dilewatinya. Kini, dengan gelar profesor, ia bisa meneruskan pengabdiannya mengajar hingga tahun 2026 setelah Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tertanggal 1 Juli 2020 mengangkatnya sebagai Guru Besar bidang Teknik Kimia.
Di depan Rapat Terbuka Senat Akademik (SA) Undip, Hargono menyampaikan pidato ilmiahnya dengan judul “Peran Bioetanol Mutu Bahan Bakar Sebagai Sumber Energi Alternatif Dalam Mewujudkan Ketahanan Energi Nasional”.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di tahun 2020, konsumsi energi di Indonesia terus meningkat sebesar 7,8 – 8% per tahun. Sayangnya, sebagian besar kebutuhan energi tersebut dipenuhi dari bahan bakar yang berasal dari fosil yang merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan.
“Masyarakat cenderung boros menggunakan energi fosil. Salah satu faktornya akibat ada subsidi pemerintah, sehingga harga energi murah,” terangnya.
Ia menuturkan saat ini perlu ada sumber energi baru dan terbarukan (EBT) seperti mini/micro hydro, biomassa, energi surya, energi angin, dan energi nuklir. Hal ini disebabkan menurunnya cadangan energi fosil di Indonesia dan belum dapat diimbangi dengan penemuan cadangan minyak mentah yang baru. Hal ini menyebabkan rentan akan terjadinya gejolak di pasar energi global.
Dirinya meyakini salah satu sumber bahan baku energi terbarukan yang memiliki potensi untuk memproduksi bioenergi adalah biomassa. Hargono banyak melakukan penelitian terkait biomassa sebagai sumber karbon alami yang dapat dikonversi menjadi bioenergi yang di Indonesia ketersediaannya melimpah.
Hargono juga mendalami pemanfaatan dari umbi-umbian, biji-bijian, maupun buah-buahan untuk diolah menjadi bioetanol mutu bahan bakar yang dapat menyokong ketahanan energi nasional. Yang menarik, bioetanol memiliki beberapa keunggulan. Di antaranya, memiliki angka oktan tinggi yang memungkinkan mesin beroperasi pada rasio kompresi yang lebih tinggi, serta mengurangi knocking atau ketukan pada mesin selama proses pembakaran.
Selain itu, bioetanol lebih ramah lingkungan karena mengandung 34,7% oksigen yang tidak terdapat pada bensin, sehingga efisiensi pembakarannya 15% lebih tinggi dibandingkan bensin.
“Bioetanol juga mampu menurunkan emisi polutan seperti karbon dioksida, sulfur dan nitrogen oksida. Bioetanol lebih baik dari Pertamax,” pungkasnya. (Devan-01).