32 C
Semarang
, 14 May 2025
spot_img

Nikmatnya Kopi Poro dengan Cita Rasa Khas Demak Terlahir dari Tradisi Keraton

Demak, Jatengnews.id – Saat ini ditengah derasnya tren kopi modern, secangkir Kopi Poro hadir membawa cita rasa masa lalu yang khas dan sarat sejarah.

Minuman tradisional ini bukan sekadar kopi, tapi warisan budaya dari kawasan Kadilangu, khususnya Notobratan, yang dahulu dikenal sebagai pusat pemerintahan di masa pardikan sekitar tahun 1800-an.

Baca juga : Filosofi Kopi Kakek 71 Tahun, Berjualan Kopi Dari Tahun 1971

Pembuat sekaligus penjual Kopi Poro, Ika Febriani, menceritakan awal mula dirinya menggali kisah kopi ini dari obrolan bersama Ndoro Yanti, ahli waris Kadilangu.

Dari situlah Ika mengetahui bahwa Notobratan memiliki tradisi kuat menyajikan kopi pada pagi dan sore hari. Uniknya, penyajian kopi itu ditandai dengan dentang lonceng, menandakan waktu minum kopi bagi para abdi dalem dan tamu kerajaan.

Kemasan Kopi Poro khas Demak. (Foto : Sam)

Nama Kopi Poro sendiri diambil dari kata “Poro” yang berarti para, seperti Poro Ndoro, Poro Abdi Dalem, dan Poro Tamu — menggambarkan siapa saja yang menikmati kopi tersebut pada zamannya. Keunikan lain terletak pada bahan pembuatannya.

Kopi ini tidak hanya terbuat dari biji kopi, tetapi juga dicampur dengan beras ketan dan kelapa. Hal ini merujuk pada masa ketika kopi murni terlalu mahal bagi masyarakat pribumi, sehingga mereka mencampurkannya agar tetap bisa menikmati rasa kopi dengan cara yang lebih terjangkau.

“Rasanya nagihi (bikin ketagihan). Dulu kopi ini dimasak di pawon (dapur) tradisional, pakai tungku, wajan dari tanah liat, dan sotil kayu. Rasanya jelas beda dibandingkan dengan yang dibuat pakai grinder,” ujar Ika saat ditemui di Pendopo Notobratan, Kadilangu, Demak, Selasa (13/5/2025).

Ika memproduksi Kopi Poro dengan metode tradisional, meskipun untuk efisiensi ia mencampur hasil tumbukan manual dan grinder. Ia mendapatkan biji kopi dari berbagai daerah, termasuk Rahtawu, lalu disangrai bersama kelapa dan beras, kemudian ditumbuk dan disaring secara manual.

Dalam satu kemasan 100 gram, Kopi Poro dijual seharga Rp25 ribu. Rasanya yang gurih berasal dari kelapa yang tidak terlalu muda maupun tua, serta beras ketan yang memberikan sensasi khas saat diminum. Tingkat sangrainya pun dipastikan tidak gosong, agar aroma dan rasa tetap seimbang.

Saat ini, Kopi Poro belum dipasarkan secara luas karena keterbatasan produksi. Namun, kopi ini telah menjadi sajian khas saat acara Catur Sasongko atau Hadilangu di Notobratan, hanya dengan Rp10 ribu per cangkir sudah bisa dinikmati.

Baca juga : Bank Indonesia Jateng Fasilitasi Komoditas Kopi Temanggung Tembus Pasar Internasional

Menariknya, dalam beberapa kesempatan, Kopi Poro bahkan dibeli menggunakan mata uang kuno seperti kepeng, menambah kesan historis dalam setiap sajian. (Sam-03)

Berita Terkait

BERITA TERBARU

- Advertisement -spot_img

BERITA PILIHAN