27 C
Semarang
, 19 Juni 2025
spot_img

Timbulsloko Desa yang Dikepung Laut Bertahan dari Lenyapnya Daratan

Dikelilingi air setiap hari, wilayah yang dulunya subur dengan sawah dan tambak, kini tinggal kenangan. Warganya harus hidup berdampingan dengan rob yang tak pernah surut.

Demak, Jatengnews.id – Desa Timbulsloko di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, menjadi potret nyata bagaimana perubahan iklim dan abrasi pesisir merampas tanah, mata pencaharian, bahkan identitas suatu wilayah.

Dikelilingi air setiap hari, wilayah yang dulunya subur dengan sawah dan tambak, kini tinggal kenangan. Warganya harus hidup berdampingan dengan rob yang tak pernah surut.

Baca juga : Indahnya Pesona Tersembunyi Desa Timbulsloko

Kepala Desa Timbulsloko, Nadhiri, menggambarkan kehidupan warganya yang telah terbiasa hidup “berkecimpung” dengan air setiap hari.

“Timbulsloko hari ini masih seperti 10 tahun lalu, satu RW berisi 5 RT, semuanya sudah tidak bisa melihat tanah liat lagi. Setiap hari air, air, dan air,” ujarnya saat ditemui di Kantornya, Kamis (19/6/2025).

Sejak tahun 2010, perubahan drastis terjadi dalam semalam. Air pasang tinggi tiba-tiba merendam pemukiman.

“Dulu sebelum saya menjabat, tahun 2009 kita masih bisa ambil ikan naik motor, mobil masih bisa masuk. Tapi 2010 dalam satu malam semuanya ambles, langsung jadi laut,” kenang Nadhiri.

Wilayah yang dulunya kaya akan hasil bumi seperti padi, jagung, kelapa, hingga ikan dan kerang, kini berubah menjadi perkampungan nelayan darurat. Tak ada lagi sawah, tambak, apalagi tanaman palawija. Ironisnya, kerusakan ini belum diakui secara resmi sebagai bencana oleh pemerintah.

“Padahal ini sudah bencana, tapi anehnya belum dianggap begitu. Kami kehilangan mata pencaharian, tanah lenyap, air bersih pun sulit,” katanya.

Pada awal tahun 90-an, warga sempat menggali sumur bor untuk memenuhi kebutuhan air bersih, tapi airnya tetap payau. Kini, bahkan sumur itu pun sudah tidak mengalir.

Pemerintah sempat menawarkan program relokasi dan rumah apung. Namun banyak warga menolak pindah karena alasan ekonomi.

“Di luar kami tidak bisa bekerja. Di atas usia 40 mau masuk pabrik ditolak, tenaga juga sudah tidak kuat kerja kasar. Jadi meski sudah punya rumah di luar, tetap kembali ke sini,” jelas Nadhiri.

Beberapa warga bahkan menyambut pasang tinggi dengan rasa syukur.

“Kalau air pasang, ikan-ikan masuk ke pemukiman. Kami bisa pasang cebak naga untuk menangkapnya,” ujar salah satu nelayan setempat.

Upaya dari pihak luar memang ada. Yayasan seperti SIP Jogja bekerja sama dengan Dinas Perkim membantu membangun rumah apung dan memberikan modal untuk budidaya kerang, kepiting, hingga bandeng. Namun, program rumah apung sempat ditolak karena anggaran mandiri warga terlalu tinggi.

Baca juga : MWC NU Desak Pemerintah Segera Tangani Rob di Sayung dan Bonang

“Dikasih Rp50 juta, tapi harus tambah Rp30 juta sendiri. Uang segitu kalau buat usaha lain bisa lebih aman,” kata Nadhiri. (Sam-03)

Berita Terkait

BERITA TERBARU

- Advertisement -spot_img

BERITA PILIHAN