Beranda Daerah Perlawanan Melalui Busana: Analisis “Hoax & Seven Sins” di Era Post Truth

Perlawanan Melalui Busana: Analisis “Hoax & Seven Sins” di Era Post Truth

Busana yang Tak Diam Menafsir "Hoax & Seven Sins" Sebagai Perlawanan Kultur di Era Post Truth

Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng saat menghadiri fashion show karya Samuel Wattimena di The Renaissance Ballroom, Jl Bukit Panorama, Jangli, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Minggu (13/7/2025). (Foto: dok)

SEMARANG, Jatengnews.id – Dalam dunia yang dipenuhi kebohongan dan informasi menyesatkan di era post truth, Samuel JD Wattimena menciptakan sebuah karya yang berbicara tanpa berteriak.

Sebagai informasi, post truth merupakan suatu kondisi di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan emosi dan keyakinan pribadi.

Koleksi busana “Hoax & Seven Sins” menyuguhkan sebuah pernyataan mendalam melalui kain-kain sisa, tekstur kasar, dan pola-pola yang tampak bertabrakan. Karya ini bukanlah sekadar fashion, melainkan sebuah refleksi dari luka sosial yang mendalam, sebuah undangan untuk merenung tentang kondisi dunia yang kian kehilangan arah.

Baca juga: Peragaan Busana Timbulsloko: Kreativitas Warga Pesisir Lawan Rob

Samuel Wattimena, yang juga anggota DPR-RI Komisi VII dari Dapil Jateng I, menggambarkan koleksinya sebagai potret masyarakat yang retak. “Kita melihat bukan glamor, tetapi realitas yang tercerai-berai. Layering yang tak rapi, tenun pudar, dan motif batik yang hampir dibuang—semua itu mencerminkan kondisi sosial kita, yang terbelah oleh polarisasi dan kehilangan kepercayaan,” ungkapnya, baru-baru ini.

Dalam setiap lapisan busana, ada kejujuran yang tak ditata, tetapi dirasakan—sebuah keindahan yang lahir dari ketidaksempurnaan.

Menggunakan limbah tekstil sebagai bahan utama, Samuel Wattimena menghidupkan kembali apa yang telah ditinggalkan. Karya ini menyatakan bahwa hal-hal yang dianggap remeh pun memiliki makna yang mendalam. Dari serpihan yang tak utuh, tumbuh kesadaran akan pentingnya kejujuran.

“Di tengah kebohongan yang dibungkus rapi, masih ada kain yang berani bersuara,” tegasnya.

Karya ini lahir dari keresahan mendalam: politik tanpa arah, budaya yang dipoles demi wisata, dan agama yang kehilangan makna.

Dengan garis rancangan yang keras dan liar, koleksi ini menampilkan siluet longgar yang bertumpuk dalam gaya layering. Kombinasi bahan-bahan lokal seperti tenun, batik, dan rajut, berpadu dengan denim yang nakal, menciptakan tampilan yang fresh dan dinamis.

“Ketika batik desa bersanding dengan denim urban, itu bukan sekadar estetika—itu adalah seruan bahwa lokalitas masih hidup dan mampu berdialog tanpa kehilangan jati diri,” jelas Samuel Wattimena.

Koleksi “Hoax & Seven Sins” mengajak kita untuk berpikir. Ia bukan sekadar busana, melainkan sebuah dialog tentang luka sosial yang tak bisa disembuhkan dengan penyangkalan, tetapi dengan pengakuan. Dalam setiap potongan dan jahitan, ada harapan yang tumbuh. Karya ini menegaskan bahwa di tengah kebohongan yang merajalela, masih ada ruang untuk kejujuran dan keindahan yang tulus.

Dengan konsep ArtCycle yang diterapkan dalam patchwork dan penggunaan kancing serta benang sisa, koleksi ini tidak hanya membawa budaya lokal ke pentas global, tetapi juga menciptakan pernyataan yang kuat. “Kami menyatukan unsur budaya lokal dengan unsur global, menjadikan setiap busana sebagai karya seni yang hidup,” tutup Samuel Wattimena.

Baca juga: Peragaan Busana di Timbulsloko Demak Simbol Mitigasi Krisis Iklim

“Hoax & Seven Sins” bukan hanya sebuah koleksi, tetapi sebuah perlawanan kultural yang berani menantang norma, mengajak kita untuk merenung dan meresapi kejujuran yang ada di balik setiap helai kain. Di era penuh kebohongan ini, busana yang tak diam ini menjadi suara bagi mereka yang ingin melihat lebih jauh dari sekadar penampilan.

Karya-karya Samuel Wattimena ini telah dipamerkan di The Renaissance Ballroom, Jl Bukit Panorama, Jangli, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Minggu (13/7/2025). (01).

Exit mobile version