29.1 C
Semarang
, 25 Juli 2025
spot_img

Perempuan Lintas Iman Bersatu, Lawan Kekerasan dan Femisida

Acara ini digelar dalam rangka memperingati 41 tahun ratifikasi Konvensi CEDAW

SEMARANG,  Jatengnews.id – Puluhan perempuan dari berbagai agama berkumpul dalam doa lintas iman di Pura Agung Giri Natha, Semarang, Rabu (23/7/2025) malam.

Mereka tidak hanya mengenang korban kekerasan terhadap perempuan, tetapi juga menyatakan sikap sebagai kekuatan moral dan spiritual melawan ketidakadilan.

Acara ini digelar dalam rangka memperingati 41 tahun ratifikasi Konvensi CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan). Para peserta hadir mengenakan pakaian putih, menyalakan lilin, dan menyuarakan tuntutan tegas terhadap negara untuk memperbaiki perlindungan hukum bagi perempuan.

Baca juga: LRC-KJHAM Sebut PRT Tidak Punya Perlindungan Hukum

“Spiritualitas dan iman tidak boleh diam saat perempuan dilecehkan atau dibunuh. Kami hadir bukan hanya untuk mendoakan korban, tapi juga menantang ketidakadilan yang dibiarkan terus berlangsung,” tegas Muti Muntari, Direktur LRC-KJHAM, yang memimpin refleksi malam itu.

LRC-KJHAM mencatat lebih dari 650 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di Jawa Tengah sejak 2024 hingga pertengahan 2025. Lebih dari separuhnya merupakan kekerasan seksual, dan mayoritas pelaku berasal dari lingkungan dekat korban.

Mirisnya, sejumlah kasus bahkan terjadi di ruang-ruang yang dianggap sakral seperti sekolah, rumah ibadah, dan lembaga keagamaan.

“Kami sudah menemukan kasus di mana pelaku adalah tokoh agama. Ini bukan sekadar kasus, tapi krisis moral,” ungkap Setyawan Budi, Koordinator Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) Semarang.

Fenomena feminisida juga menjadi sorotan. LRC-KJHAM mencatat sedikitnya 10 kasus pembunuhan berbasis gender sepanjang 2024–2025. Sebagian besar belum mendapatkan kejelasan hukum.

Baca juga: LRC-KJHAM: Kasus Asusila ASN Semarang Tak Bisa Dimediasi

Peserta doa lintas iman menyampaikan empat tuntutan utama kepada negara, yakni implementasi menyeluruh UU TPKS tanpa diskriminasi, pengesahan peraturan pelaksana UU TPKS yang berpihak pada korban, pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), dan penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.

Malam refleksi ditutup dengan penyalaan lilin sebagai simbol cahaya perlawanan dan harapan.

“Kami ingin ruang-ruang ibadah menjadi tempat yang aman, bukan menakutkan bagi perempuan,” ujar Muti Muntari.(02)

Berita Terkait

BERITA TERBARU

- Advertisement -spot_img

BERITA PILIHAN