29.1 C
Semarang
, 25 Juli 2025
spot_img

Simbol Gajah dan Reposisi PSI

Gajah hadir sebagai simbol kebijaksanaan, kekuatan yang tenang, dan daya ingat yang nyaris mitologis.

Penulis : M. Nafiul Haris Co-Founder Eventrue Digital Branding

SEMARANG – Dalam kongres perdananya yang dijadwalkan berlangsung di Solo, Jawa Tengah, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tampaknya tengah menyiapkan bukan hanya pertemuan partai biasa, tapi juga sebuah momentum rebranding besar-besaran.

Selain mendorong narasi partai terbuka dengan jargon “Pemilu Raya”, PSI juga ramai diperbincangkan karena sinyal kuat akan mengubah logo partainya–dari bunga mawar menjadi simbol gajah berwarna merah-hitam.

Logo baru itu, yang telah lebih dulu beredar di media sosial, mengundang banyak tafsir dan spekulasi. Dalam konteks politik elektoral yang penuh simbol dan strategi citra, perubahan semacam ini tentu tidak bisa hanya dibaca sebagai penyegaran visual. Ia adalah sinyal. Bahkan mungkin, sebuah pernyataan arah. Pergeseran dari mawar–yang selama ini diasosiasikan dengan semangat sosial-demokrasi Eropa–menuju gajah yang lebih berat, lebih konservatif secara asosiasi, bisa dibaca sebagai reposisi identitas politik PSI itu sendiri.

Dalam lanskap budaya yang luas, gajah bukan sekadar hewan berukuran besar ia adalah lambang makna. Di berbagai peradaban, dari Asia Selatan hingga Asia Tenggara, gajah hadir sebagai simbol kebijaksanaan, kekuatan yang tenang, dan daya ingat yang nyaris mitologis. Di India, gajah direpresentasikan oleh Dewa Ganesha, penjaga ilmu pengetahuan dan pembuka jalan dalam setiap awal yang baru. Sementara dalam konteks Indonesia, jejak simbolik gajah terlihat pada narasi kekuasaan masa lalu–baik sebagai alat perang maupun lambang kebesaran kerajaan.

Dengan mengadopsi ikon gajah, PSI tampaknya tidak sekadar ingin mengganti simbol partai, tetapi menyisipkan narasi baru: dari partai muda yang dahulu mengusung semangat aktivisme idealistik, menuju sosok institusi yang siap mengemban peran lebih besar dan stabil. Sebuah sinyal transformasi dari gerakan ke struktur, dari citra muda ke figur matang.

Pandangan ini selaras dengan teori branding politik yang dikemukakan oleh Bruce I. Newman dalam bukunya The Marketing of the President (1994), yang menyebut bahwa simbol visual bukan sekadar alat identifikasi, melainkan perpanjangan dari positioning politik dan instrumen untuk menciptakan persepsi serta ikatan emosional dengan pemilih.

Namun demikian, rebranding seperti ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia membutuhkan waktu dan–lebih penting lagi–penerimaan kolektif. Setiap simbol bekerja dalam ruang tafsir publik, dan dalam dunia politik, makna bukan ditentukan oleh pencipta simbol, melainkan oleh bagaimana simbol itu diresonansikan, diserap, dan dimaknai oleh masyarakat luas. Bila tidak dikelola dengan narasi yang utuh dan berlapis, simbol gajah ini justru berpotensi menjadi beban–alih-alih jembatan–menuju pemilih yang selama ini diharapkan PSI.

Risiko Disonansi

Namun, perubahan simbol tidak selalu membawa kejelasan makna. Dalam dunia komunikasi politik, setiap ikon ibarat cermin yang memantulkan harapan, ketakutan, dan persepsi publik—sering kali tak sesuai dengan niat awal sang perancang. Di sinilah, letak risiko disonansi simbol: ketika pesan yang dimaksud tidak sejalan dengan makna yang ditangkap.

Dalam buku The Political Brain (2007), Drew Westen menjelaskan bahwa dalam politik, emosi dan asosiasi simbolik sering kali mengalahkan argumen rasional. Ketika logo atau lambang partai tidak memiliki asosiasi emosional yang kuat atau bahkan menimbulkan kebingungan, maka pesan politik gagal menembus kesadaran pemilih.

Ambil contoh, Partai Republik di Amerika Serikat. Gajah mereka bukan hanya merepresentasikan kekuatan konservatif, tetapi juga–secara historis–mengandung ironi: simbol tersebut pertama kali muncul dalam kartun satir yang menggambarkan partai sebagai binatang besar yang mudah panik. Namun seiring waktu, makna itu direbut, ditata ulang, hingga akhirnya menjadi ikon resmi. PSI, tampaknya sedang mencoba strategi serupa: merebut narasi baru dengan simbol besar. Tapi, keberhasilan langkah itu bergantung bukan hanya pada logo, melainkan pada konsistensi narasi, tindakan politik nyata, dan resonansi dengan aspirasi publik.

Tanpa kesesuaian antara simbol dan substansi, logo baru PSI berisiko menjadi sekadar kostum. Gajah yang dimaksud sebagai lambang kekuatan bisa dibaca sebagai tanda berat, lamban, atau bahkan nostalgia akan kekuasaan lama. Di sinilah, tantangan sesungguhnya: apakah PSI sedang merancang masa depan politik, atau justru sedang membungkus ulang masa lalu dalam kemasan baru?

George Orwell dalam Politics and the English Language (1946) pernah memperingatkan bahwa bahasa politik sering digunakan untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan tampak terhormat. Dalam konteks simbol, pernyataan ini terasa semakin relevan. Logo, jargon, dan gestur bukan lagi sekadar alat ekspresi, tapi menjadi instrumen produksi realitas. Di titik ini, politik tidak lagi bicara soal kebenaran, melainkan penguasaan atas persepsi.

PSI, dengan simbol gajah barunya, mungkin sedang mencoba menulis ulang peran dan posisinya dalam panggung politik nasional. Tapi, upaya itu hanya akan berhasil jika simbol tersebut tidak berhenti pada visual. Ia harus menjadi bagian dari narasi yang hidup–terhubung dengan keputusan-keputusan politik yang konkret, konsistensi etika publik, dan keberpihakan yang teruji. Tanpa itu semua, gajah akan tetap menjadi gambar di kertas. Besar, tapi sunyi. Penuh makna, tapi kehilangan suara. (03)

Berita Terkait

BERITA TERBARU

- Advertisement -spot_img

BERITA PILIHAN