SEMARANG, Jatengnews.id – Hasil survei Litbang Kompas (Kompas, 20/08/2025) tentang Gubernur Ahmad Luthfi dan Wakil Gubernur Taj Yasin Maimoen menghadirkan paradoks. Tingkat kepuasan masyarakat tinggi, citra keduanya positif, bahkan delapan dari sepuluh responden menilai mereka baik.
Namun popularitas tetap rendah. Banyak warga yang puas dengan kinerja, tetapi tidak hafal nama gubernurnya. Fenomena ini mengundang tafsir berbeda.
Ketua Tim Percepatan Pembangunan Daerah Jateng, Zulkifli Gayo, menyebut Luthfi dan Taj Yasin adalah tipikal pemimpin substansial. Mereka tidak sibuk membangun panggung popularitas, melainkan memilih jalan sunyi: bekerja, memastikan kebijakan berdampak langsung, lalu menyerahkan penilaian pada masyarakat.
Model Pemimpin Substansial
Dalam literatur kepemimpinan dunia, istilah ini sejatinya dekat dengan gagasan substantive leadership. James MacGregor Burns dalam karyanya Leadership (1978) membedakan antara pemimpin transaksional dan transformasional.
Pemimpin substansial bisa diletakkan di antara keduanya: bukan sekadar menukar janji politik dengan dukungan, melainkan menaruh fokus pada substansi kebijakan yang berkelanjutan.
Pemimpin substansial, yang tidak hanya memiliki jabatan atau posisi formal, tetapi juga memiliki kemampuan, karakter, dan pengaruh yang nyata dalam memimpin dan mengarahkan orang lain. Mereka mampu menginspirasi, memotivasi, dan membimbing tim atau organisasi menuju pencapaian tujuan yang diinginkan, serta mampu memberikan dampak positif yang signifikan.
Robert Greenleaf dalam Servant Leadership (1977) juga menyinggung hal serupa, pemimpin sejati bukan yang menonjolkan diri, melainkan yang membuat masyarakatmerasakan hasil nyata. Begitu pula Jim Collins dalam Good to Great (2001), yang menemukan bahwa perusahaan-perusahaan hebat dipimpinoleh figur Level 5 Leader: rendah hati secara pribadi, tetapi sangat bertekad secara profesional.
Jika dirunut ke dalam praktik politik, pemimpin substansial cenderung tidak gemerlap dalam pencitraan, tetapi meninggalkan warisan kebijakan yang kuat.
Pemimpin populis memiliki kelebihan utama dalam kemampuannya menjalin kedekatan emosional dengan rakyat. Mereka fasih menggunakan bahasa sederhana yang mudahdipahami, responsif terhadap isu-isu aktual, dan mampumembangkitkan semangat kolektif masyarakat.
Dukungan publik biasanya mengalir deras karena rakyat merasa didengar dan diperjuangkan. Namun, kelemahannya terletak pada kecenderungan untuk lebih fokus pada citra dan popularitas dibanding substansi kebijakan.
Pemimpin populis kerap terjebak dalam keputusan jangka pendek yang menyenangkan massa, tetapi kurang memperhatikan keberlanjutan atau fondasi sistemik yang lebih Kokoh.
Sementara itu, pemimpin substantif menonjol karena fokus pada nilai, gagasan, dan visi jangka panjang. Mereka mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan rasional, berbasis data, serta berorientasi pada tata kelola yang berkelanjutan. Kepemimpinan model ini biasanya lebih stabil dan mampu membangun institusi yang kuat.
Kelemahannya, pemimpin substantif sering kali tampak jauh dari rakyat, kurang komunikatif dalam menyederhanakan gagasan, dan kadang dianggap lamban karena setiap kebijakan memerlukan proses kajian yang panjang. Akibatnya, mereka kurang populer meski sesungguhnya bekerja untuk kepentingan publik secara mendalam.
Dengan demikian, pemimpin populis unggul dalam membangun legitimasi dan dukungan rakyat secara cepat, sedangkan pemimpin substantif unggul dalam menciptakan fondasi pembangunan yang tahan lama.
Prestasi Awal: Substansi yang Diam-diam Hadir
Dalam enam bulan pertama, sejumlah capaian di Jawa Tengah sudah menunjukkan arah tersebut. Tarif Trans Jateng diturunkan menjadi Rp 1.000 bagi buruh, pelajar, veteran, dan lansia. Ini kebijakan kecil tapi sangat bermakna bagi kelompok rentan.
Angka kemiskinan berhasil ditekan hingga 9,48 persen, menggeser posisi Jateng dari nomor dua termiskin di Jawa menjadi nomor tiga. Program perbaikan Rumah Tak Layak Huni mencapai 17 ribu unit, tertinggi di Indonesia.
Di bidang sosial, insentif diberikan kepada 570 penghafal Al-Qur’an dan lebih dari 230 ribu guru keagamaan. Investasi juga menunjukkan catatan positif. Masuknya investasi padat karya menciptakan lapangan kerja baru bagilebih dari 220 ribu orang.
Walaupun rawan PHK di masa krisis, kebijakan ini tetap signifikan sebagai penopang daya serap tenaga kerja.
Dalam konteks Indonesia, beberapa gubernur pernah menempuh jalur serupa. Ganjar Pranowo (Jateng, 2013–2023) sering dicap populis karena gaya komunikasinya dekat dengan rakyat.
Namun di balik itu, kebijakan yang substansial tidak sedikit yang tidak tercover: penguatan desa, integrasi layanan publik, hingga upaya mendorong transparansi APBD.
Rasiyo (Pj Gubernur Jatim 2008–2009) dan Basuki Tjahaja Purnama (DKI, 2014–2017) menunjukkan bahwa kepemimpinan substansial kadang berbenturan dengan resistensi politik. Keduanya mendorong tata kelola pemerintahan lebih transparan, meski citranya tak selalu populer.
Ridwan Kamil (Jabar, 2018–2023) pun punya aspek substansial. Di balik sosok populernya di media sosial, banyak kebijakan konkret seperti revitalisasi desa, program “u”, dan digitalisasi birokrasi.
Luthfi-Taj Yasin lebih mendekati tipe “diam tapi substansial”—gaya yang jarang menonjol di media, tetapi ditopang data capaian konkret.
Evaluasi dan Catatan Ke Depan
Meski capaian awal cukup progresif, survei Kompas memberi catatan: kepuasan publik rendah terhadap infrastruktur jalan dan ketersediaan lapangan kerja. Keduanya memang isu strategis.
Perbaikan jalan baru bisa digenjot lewat APBD Perubahan, sehingga dampaknya mungkin baru terlihat akhir 2025. Sementara investasi padat karya, meski menyerap banyak tenaga kerja, harus dibarengi strategi diversifikasi agar tidak rawan PHK massal.
Tantangan ke depan bukan hanya menjaga laju pengentasan kemiskinan dan memperbaiki infrastruktur, tetapi juga mengomunikasikan hasil kerja. Sebab dalam politik demokratis, substansi tanpa legitimasi publik bisa kehilangan daya dukung.
Baca juga: Gubernur Ahmad Luthfi Minta Baznas Jateng Dukung Program Pemprov
Jawa Tengah kini menjadi laboratorium menarik untuk menguji tesis: apakah pemimpin substansial mampu bertahan dalam iklim politik yang sering mengutamakan popularitas?
Luthfi-Taj Yasin punya modal awal yang cukup menjanjikan. Tinggal bagaimana mereformula komunikasi publik yang lebih inovatif. Ini sangat perlu dilakukan agar rakyat tidak hanya merasakan manfaat kebijakan, tetapi juga tahu siapa yang bekerja di baliknya.
Dengan begitu, substansi bertemu dengan legitimasi, dan popularitas tidak lagi sekadar soal wajah yang dikenal, melainkan kepercayaan yang diakui. (02)
Wahidin Hasan, penulis pemerhati kebijakan publik pada Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah