SEMARANG, Jatengnews.id – Provinsi Jawa Tengah mencatat kemajuan signifikan dalam sektor ekonomi pada paruh pertama 2025. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, per Maret 2025 tingkat kemiskinan di Jateng turun ke 9,48%, atau berkurang 0,10 poin dari September 2024. Jumlah penduduk miskin turun menjadi 3,37 juta jiwa, menyusut sekitar 29,6 ribu orang.
Di sisi lain, pasar kerja juga membaik. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2025 tercatat sebesar 4,33%, lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu.
Baca juga: Pemimpin Substansial: Jalan Sunyi Ahmad Luthfi-Taj Yasin di Jawa Tengah
“Ini bukan angka sulap, tapi penanda arah yang tepat. Semakin banyak warga bekerja, maka kemiskinan juga akan perlahan menurun,” ujar Wahidin Hasan, pemerhati kebijakan publik dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Jateng, Selasa (26/8/2025).
Investasi Naik, Serapan Tenaga Kerja Tertinggi di Jawa
Tren positif ini didorong oleh laju investasi yang tinggi. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Jawa Tengah mencatat, realisasi investasi semester I/2025 mencapai Rp 45,58 triliun. Dari angka itu, sektor industri menyerap 222.373 tenaga kerja—tertinggi di antara seluruh provinsi di Pulau Jawa.
“Di kuartal pertama saja, serapan tenaga kerja sudah mencapai hampir 100 ribu. Sub-sektor alas kaki dan kulit jadi kontributor utama. Ini artinya kawasan industri di utara Jawa Tengah sudah mulai produktif,” kata Wahidin.
Kendal–Batang–Brebes, Menuju Sabuk Industri Jateng
Tiga kawasan utama menjadi poros pertumbuhan industri: Kendal, Batang, dan Brebes.
Kendal telah lama menjadi pionir kawasan industri. Saat ini dibutuhkan sekitar 37.000 pekerja tambahan, namun terjadi mismatch keterampilan.
Batang baru saja diresmikan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industropolis Batang pada 20 Maret 2025, yang diharapkan jadi magnet industri hilirisasi.
Brebes menunggu penuntasan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sebagai prasyarat membuka investasi skala besar.
Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, dalam peringatan Hari Jadi ke-80 Provinsi Jawa Tengah di KIT Batang, menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor. “Kita dorong kawasan industri bukan sekadar papan nama. Harus jadi penggerak ekonomi nyata masyarakat,” ujarnya.
Kebijakan Harus Mengurangi Friksi
Pemerintah provinsi juga didorong untuk menyederhanakan perizinan dan mempercepat tata ruang. Wahidin mengingatkan, hambatan terbesar justru sering terjadi di level daerah.
“Perizinan yang lambat dan mahal membuat investor lari ke provinsi tetangga. Padahal, bukan tarif yang ditakutkan investor, tapi ketidakpastian,” katanya.
Vokasi dan Infrastruktur Sosial Jadi Kunci
Solusi jangka pendek yang diusulkan antara lain adalah penyusunan kurikulum vokasi industri berbasis dual system: tiga hari di pabrik, dua hari di kelas. Targetnya mengisi kebutuhan puluhan ribu pekerja baru dalam waktu 12–18 bulan.
Wahidin juga menekankan pentingnya infrastruktur sosial di sekitar kawasan industri. “Kalau kita ingin partisipasi kerja perempuan meningkat, perlu ada daycare dekat pabrik, mess pekerja yang layak, dan transportasi karyawan antarwilayah. Ini bukan sekadar fasilitas, tapi strategi pengurangan kemiskinan,” jelasnya.
Baca juga: Generali Indonesia Rayakan HUT ke-17 dengan Kampanye Kesehatan di 17 Kota
Optimisme yang Bisa Diaudit
Jika tren ini bertahan tiga tahun ke depan, penurunan kemiskinan 0,2–0,4 poin per tahun bukan hal mustahil. “Angka 8 persen bisa tercapai dalam dua atau tiga tahun, asal pace serapan tenaga kerja seperti sekarang tetap terjaga,” tambahnya.
Ia menutup dengan catatan penting: “Kawasan industri bukan jargon. Ia bekerja jika aturan jelas, vokasi presisi, dan logistik pekerja terpenuhi. Jika ini dijaga, Jateng benar-benar bisa keluar dari zona provinsi miskin, bukan sekadar di atas kertas, tapi lewat gaji bulanan yang masuk tepat waktu ke rekening warga.”pungkasnya. (02)