Beranda Tajuk Redaksi Ketika Keadilan Melawan Kekakuan: Opini dan Analisis atas Putusan MK Nomor 132/PUU-XXIII/2025

Ketika Keadilan Melawan Kekakuan: Opini dan Analisis atas Putusan MK Nomor 132/PUU-XXIII/2025

Pelajari lebih lanjut tentang Putusan MK dan dampaknya pada buruh yang terdampak pemutusan hubungan kerja.

Mediator Hubungan Industrial & Founder NgoPi SIK Community. (Foto : Dokumen)
Mahendra Hakim Mediator Hubungan Industrial & Founder NgoPi SIK Community. (Foto : Dokumen)

Penulis : Mahendra Hakim (Mediator Hubungan Industrial & Founder NgoPi SIK Community)

SEMARANG, Jatengnews.id – Sejak lahirnya UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dibatasi oleh norma Pasal 82, yang pada pokoknya gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) harus diajukan dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.

Hal ini berimplikasi terhadap pekerja/buruh yang tidak mengajukan gugatan dalam jangka waktu satu tahun tersebut, maka haknya untuk menuntut penyelesaian perselisihan PHK di pengadilan dapat dinyatakan telah gugur atau daluwarsa. Pengertian daluwarsa (verjaring) menurut hukum perdata ini diatur dalam Pasal 1946 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Daluwarsa atau lewat waktu (verjaring) adalah satu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali membuat gebrakan penting dalam hukum ketenagakerjaan. MK mengubah tafsir Pasal 82 UU PPHI lewat Putusan Nomor 132/PUU-XXIII/2025 (Putusan MK 132) yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi pada hari Rabu, tanggal 17 September 2025. Putusan ini mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dan memaknai ulang titik mula hitungan tenggang waktu 1 (satu) tahun, bahwa gugatan oleh pekerja/buruh atas PHK dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak tidak tercapainya kesepakatan perundingan mediasi atau konsiliasi, bukan lagi dihitung sejak pekerja menerima pemberitahuan PHK.

Secara normatif, putusan ini adalah koreksi penting terhadap pengertian daluwarsa yang sebelumnya dipertegas MK pada Putusan No. 94/PUU-XXI/2023 yang menempatkan titik awal satu tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan PHK. Dengan menempatkan titik awal pada gagalnya upaya mediasi/konsiliasi, MK menegaskan prinsip keadilan substantif yang mengakui bahwa realitas proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan kondisi pekerja yang ter-PHK membuat hitungan tenggang waktu 1 (satu) tahun “sejak surat PHK” menjadi tidak realistis, karena putusan tersebut telah gagal memperhitungkan kondisi objektif buruh. Kepastian hukum memang penting, tetapi harus diimbangi dengan keadilan substantif.

Putusan MK 132 merupakan langkah yang progresif, merespons fakta empiris bahwa penyelesaian perselisihan hubungan industrial di luar pengadilan/non-litigasi mulai dari perundingan bipartit hingga mediasi/konsiliasi  bisa memakan waktu, pengusaha acapkali tidak kooperatif melalui taktik “ulur waktu” dengan menunda mediasi, di sisi lain posisi tawar pekerja secara ekonomi sosial jauh lebih lemah dibanding pengusaha. Putusan MK 132 telah menempatkan kepentingan akses keadilan (access to justice) lebih tinggi daripada kepastian formal yang kaku.

Namun di balik kabar baik, ada PR besar. Bahwa Putusan MK 132 tidak menjawab secara detail: kapan tepatnya mediasi/konsiliasi dianggap gagal atau tidak tercapai kesepakatan? Apakah cukup anjuran atau risalah penyelesaian mediasi/konsiliasi sebagai dokumen yang sah sebagai bukti? atau jika salah satu pihak secara tertulis menyatakan mediasi/konsiliasi gagal, menarik diri dari proses, atau dinyatakan tidak beriktikad baik oleh mediator/konsiliator ? Jika tidak ada standar, para pihak bisa punya tafsir berbeda-beda. Hal ini menjadi potensi permasalahan baru, karena kepastian hukum justru makin kabur.

Sebagai opini pribadi, saya menilai putusan ini adalah kemenangan penting, berani dan progresif. Putusan MK 132 menunjukkan keberanian MK melawan kekakuan hukum demi mengembalikan hukum ke fungsinya: melindungi yang lemah. Pekerja/buruh yang selama ini kalah oleh prosedur kini punya peluang lebih besar. Tapi keberanian ini belum cukup, tanpa regulasi turunan, putusan justru bisa memunculkan sengketa baru soal tafsir.

Singkatnya, Putusan MK132  ini adalah langkah maju tapi bukan akhir dari perjuangan atas keadilan pekerja/buruh. Pun, putusan tersebut mendorong terwujudnya asas penyelesaian perselisihan hubungan industrial “cepat, tepat, adil, dan murah” sebagai tujuan utama yang ingin dicapai dalam UU PPHI guna mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan

Putusan MK merupakan produk dari hasil uji materi Undang-Undang terhadap UUD 1945, putusan MK berkekuatan hukum tetap dan final, sehingga Putusan MK harus ditaati oleh semua pihak (erga omnes). Namun MK tidak memiliki kewenangan eksekutorial terhadap putusan uji materi Undang-Undang, sehingga tingkat kepatuhan terhadap putusan MK menjadi rendah. Sehingga penting dalam jangka pendek bagi Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) untuk segera menerbitkan peraturan turunan sebagai respons terhadap Putusan MK 132 guna meniadakan multitafsir.

Dengan peraturan turunan, Kemnaker dapat memberikan penjelasan dan mengatur secara lebih rinci aspek-aspek yang menjadi fokus putusan, sehingga kepastian hukum dan pemahaman yang seragam dapat tercapai di kalangan pekerja, pengusaha, dan masyarakat. Putusan MK 132 telah membuka jalan, kini negara wajib memastikan jalan itu tidak kembali buntu. Semoga tulisan ini dapat memantik diskusi yang lebih mendalam. (03)

Exit mobile version