Beranda Daerah Saksi Mata Pertempuran Lima Hari di Semarang: Saya Hampir Ditembak Tentara Jepang

Saksi Mata Pertempuran Lima Hari di Semarang: Saya Hampir Ditembak Tentara Jepang

"Kakak saya bilang, ora po po! mati sesok, mati sekarang sama saja,"

Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng Pramestuti di Lawang Sewu, Selasa (14/10/2025). (Foto:Kamal)
R Soepar Soegiarno (96), seorang saksi hidup Pertempuran Lima Hari di Semarang saat menceritakan kesaksiannya di hadapan Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng Pramestuti di Lawang Sewu, Selasa (14/10/2025). (Foto:Kamal)

SEMARANG, Jatengnews.id – Suara tembakan, ledakan granat, dan teriakan para pejuang masih terpatri jelas di ingatan R Soepar Soegiarno (96), seorang saksi hidup Pertempuran Lima Hari di Semarang yang terjadi pada 15–19 Oktober 1945.

Sore menjelang upacara pertempuran Lima Hari di Semarang, terlihat di Lawang Sewu sosok kakek yang duduk di kursi roda mengenakan kopyah merah khas para pejuang.

Baca juga : Peringatan Pertempuran Lima Hari di Semarang 2025 Siap Tampil Spektakuler

Sore itu, ia menghadiri acara Pemeran Arsip Pertempuran Lima Hari di Semarang dan berbicara langsung dengan Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti, Selasa (14/10/2025) sore.

“Waktu kita masih tinggal di Surabaya, dan adik saya masih berumur 13 tahun. Bertemu salah satu kapten Jepang bernama Oyanaki,” ujarnya lirih mengingat sebelum datang ke Kota Atlas.

Dalam pertemuan tersebut, adiknya diajak berfoto dengan sang Kapten Jepang dan dari hasil foto tersebut dituliskan bahwa anak ini akan dikirim ke Jepang untuk sekolah.

“Anak ini akan saya sekolahkan di Jepang setelah sudah selesai perang,” katanya isi tulisan dalam foto tersebut.

Singkatnya, dirinya pindah dari Surabaya ke Semarang, tepatnya di wilayah Poncol. Dengan tajam ia mengingat, dimana sekitar rumahnya tersebut menjadi salah satu titik Pertempuran Lima Hari di Semarang.

“Suatu hari ada 14 Jepang yang ditembak, dibunuh oleh seorang pemuda yang namanya saya tidak tahu dengan senapan mesin bren menembaki 14 orang lebih tentara Jepang,” ingatnya cuil kisah dari pertempuran tersebut.

“Selesai, sebentar lagi terdengar tar, ter, tar, ter dari arah Lawang Sewu menuju ke belakang Sri Ratu,” sambungnya mengingat bagaimana mencekamnya suara senapan dimana-mana menghantui warga Semarang.

Mendengar suara senapan yang terus mendekat, R Soepar sontak berterik meminta pertolongan kepada warga sekitar dan keluarganya.

“Saya teriak tolong-tolong, saat mendengar suara tembakan itu,” akunya.

Teriakan tersebut, bersamaan dengan mata kepalanya menyaksian rombongan warga semarang yang membunuh tentara jepang dengan bambu runcing.

“Setiap melihat tentara Jepang, warga berebut menyerang dengan bambu runcing,” ungkapnya situasi pertempuran yang membuat bulu kuduk berdiri.

Mereka yang menyerang menggunakan bambu runcing tersebut, sebagain meletakkannya di sekitar rumahnya di Poncol.

“Bambu runcing tersebut dibuang disekitar rumah kami di Poncol. Sementara di rumah ada saya, kakak saya dua, terus Insinyur Kepala Stasiun Poncol,” sebutnya empat orang yang waktu itu menjadi saksi mata.

Tiba-tiba, ada sekelompok orang yang menggedor rumah R Soepar meminta untuk dibukakan pintunya.

“Huhu (tangisan keluarga). buka!, buka!, buka! rumah dulu kan pintunya gede-gede,” ujarnya dengan suara bergetar.

Setelah pintu rumah di Buka, ia terperanga melihat sekelompok tentara Jepang yang mengacungkan senapan.

“Saya lihat betul Jepang membawa pistol, kami berlutut di bawah meja,” akunya diwaktu itu penuh rasa takut.

“Tiga orang ditarik, ditaruh di belakang rumah ada pohon beringin,” sambungnya.

Ia yang sedang ketakutan, langsung diingatkan kakaknya bahwa kematian bukan suatu permasalahan.

“Kakak saya bilang, ora po po! mati sesok, mati sekarang sama saja,” tegasnya mengingat bagaimana mentalnya digembleng oleh sang kakak.

Teriakan ketakutan benar-benar ia lakukan dan rasakan bagaimana kondisi keluarganya yang sudah tidak tahu bagimana nasibnya, apakah bakal mati ditangan Jepang atau tidak.

Kemudian, suasana mencekam tersebut terpecahkan ketika dirinya menyodorkan sebuah foto ia, adiknya bersama Kapten Oyanaki waktu sekolah rakyat di Surabaya.

“Ini tuan fotonya, saya mau di sekolahkan di Jepang. ‘Oh betulkah’ (sahut tentara Jepang), betul tuan,” ingat saat menyodorkan foto penyelamat nyawa.

“Ya allah tuhan, tuhan ada lah. Saya percaya tuhan ada,” sambungnya.

“Sudah nggak jadi saya dibunuh oleh Jepang,” pungkasnya penuh kebahagian yang masih ia rasakan hingga hari ini.

Mendengar cerita tersebut, Agustin langsung termanggut-manggut dan ikut merasakan keharuan yang tak terbendung.

“Hebat karena foto, tangan tuhan bekerja,” ucap perempuan yang akrab dipanggil Agustin tersebut sambil menatap sosok pahlawan didepannya.

“Aku merinding mas, itu tadi cerita tentang sejarah yang demikian nyata oleh pelaku yang membuktikan bahwa tuhan itu ada,” aku Agustin setelah mendengar cerita tersebut.

Ia mengingat, bagaimana sosok kakek yang terselamatkan nyawanya dari timah panas jepang karena sebuah foto.

“Peristiwa sebelumnya adanya sebuah foto yang sebelumnya dianggap sepele, itu menyelamat keluarga itu dari bantaian tentara Jepang,” akunya.

“Luar biasa, ini akan menjadi sebuah testimoni yang langka,” imbuhnya.

Tak hanya bercerita, Agustin juga mendapatkan pesan oleh sosok saksi mata Pertempuran Lima Hari di Semarang.

“Saya diminta untuk tidak jumawa dalam memimpin Kota Semarang,” ujarnya sambil meresapi pesan tersebut.

Baca juga : Sejarah Hotel Dibya Puri Semarang, Kesaksian Pegawai Terakhir di Tengah Kebangkitan dan Kejatuhan

“Hati-hati dan jujur dalam mengambil keputusan, saya merasa itu sesuatu yang harus saya lakukan,” pungkasnya. (03)


Exit mobile version