KUDUS, Jatengnews.id – Suara denting panci terdengar dari dapur yang sibuk di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Jalan Pattimura, Desa Jepangpakis, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus.
Di sana, Tri Sugianto (58), berdiri bersama rekan-rekannya yang tengah menyiapkan makan siang bagi ratusan siswa penerima program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Dengan seragam sederhana dan wajah ramah, ia bercerita tentang perjalanan hidupnya, dari pedagang angkringan hingga menjadi pengawas dapur program pemerintah ini.
Baca juga: Pemprov Jateng Buka Hotline Aduan Kasus Keracunan Menu MBG
“Saya dulu jualan angkringan di GOR. Menunya kopi dan makanan ringan,” kata Tri membuka cerita.
Hidupnya mulai berubah ketika seorang rekan menawarkan pekerjaan di dapur penyedia makanan untuk program MBG.
“Saya mau, dan akhirnya mulai bekerja di sini sejak bulan April. Sampai sekarang,” ujarnya. Bagi Tri, pekerjaan di dapur bukan sekadar mencari nafkah.
“Rasanya ringan, Mas. Tapi yang paling saya suka, di sini suasananya penuh kekeluargaan. Kami semua seperti keluarga,” tuturnya sambil tersenyum.
Sebagai pengawas dapur, Tri bertanggung jawab memastikan proses penyajian makanan berjalan sesuai waktu.
“Kadang kita dikejar waktu, harus selesai jam 11 tapi semua dikerjakan bareng-bareng,” katanya.
Sebelum bergabung dengan dapur MBG, penghasilan Tri hanya berasal dari angkringan kecil. Kini, tambahan pekerjaan itu membuat ekonominya lebih stabil.
“Jelas bertambah. Waktu pertama kerja di sini, anak saya masih kuliah. Jadi bisa bantu biaya kos dan kebutuhan lainnya,” katanya.
Kini, anak Tri sudah bekerja di salah satu rumah sakit, dan istrinya juga ikut bekerja. “Alhamdulillah, kehidupan sekarang cukup. Tambahan dari sini sangat membantu,” ujarnya.
Tri mengaku, sebagian besar penghasilan tambahan digunakan untuk keperluan rumah tangga dan menabung.
“Kita kan masih punya anak perawan. Jadi ya disiapkan buat nanti nikahan, atau perbaikan rumah. Kalau ada sumbangan atau kebutuhan mendadak juga bisa teratasi,” tuturnya dengan nada bersyukur.
Tak hanya dirinya yang merasakan manfaat, Tri juga melihat bagaimana program ini membuka peluang kerja bagi warga sekitar.
“Untuk dapur satu, banyak dari mereka yang dulu pramusaji. Dapur dua malah direkrut dari warga sekitar Karangpakis dan Jepangpakis. Jadi hampir separuh pekerja di sini warga setempat,” jelasnya.
Sementara sisanya berasal dari desa lain yang memang membutuhkan pekerjaan.
“Artinya, program ini bukan cuma membantu anak sekolah makan bergizi, tapi juga memberi penghidupan bagi banyak orang,” ujar Tri menutup percakapan.
Salah satu karyawan SPPG di Jepangpakis, Nurwati (52), mengatakan, dirinya sangat bersyukur karena bisa bekerja di tempat tersebut. Karyawan bagian packing dapur penyedia makanan MBG itu mengaku, penghasilannya bisa bertambah.
“Awalnya ditawari teman. Alhamdulillah bisa kerja di sini, bisa bantu keluarga buat bayar sekolah dan tambahan belanja,” tutur Nurwati saat ditemui di dapur MBG di Kudus itu.
Nurwati mengaku, bersyukur bisa mendapatkan pekerjaan yang sekaligus masih memberinya waktu untuk keluarga.
“Saya masuk jam 04.00, pulang jam 12.00. Jadi masih ada waktu buat keluarga,” ujar dia. Menurutnya, suasana kerja di dapur MBG terasa hangat dan kompak.
“Kalau ada teman yang enggak masuk, kita kerjakan bareng-bareng. Enggak berat sih, karena semuanya saling bantu. Rasanya seperti keluarga,” kata Nurwati sambil tersenyum.
Ia menambahkan, semua pekerja disiplin menjaga kebersihan dan higienitas makanan yang diolah.
“Kalau ambil makanan pakai sarung tangan, kuku enggak boleh panjang, terus kalau pilek enggak boleh masuk. Kita juga wajib pakai masker,” jelasnya.
Dengan penghasilan tambahan dari pekerjaan ini, Nurwati mengaku kehidupannya terasa lebih ringan.
“Sangat membantu. Apalagi suami saya sudah meninggal, jadi saya kerja sendiri untuk mencukupi kebutuhan dan sekolah anak,” ucapnya.
Bagi Nurwati, program MBG bukan hanya soal makanan bergizi untuk siswa, tetapi juga bentuk kepedulian sosial terhadap para ibu rumah tangga yang membutuhkan pekerjaan.
“Semoga program MBG ini terus lancar sampai ke depan. Soalnya sangat meringankan ibu-ibu yang nganggur. Semua senang bisa kerja dan bantu keluarga,” katanya.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jawa Tengah, Yunita Dyah Suminar, sebelumnya meminta agar SPPG untuk segera mengurus pengajuan penerbitan SLHS. Hal itu sesuai langkah cepat yang diinstruksikan Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi.
Dinkes Provinsi melakukan komunikasi intensif dengan dinkes kabupaten/kota, Badan Gizi Nasional, serta koordinator wilayah SPPG di tingkat provinsi hingga kecamatan.
“Pihak mitra SPPG dan ahli gizi di setiap SPPG juga berperan sebagai pengendali mutu (quality control), mulai dari pemilihan bahan dan pemasok hingga proses penyajian dan pendistribusian MBG,” kata Yunita.
Kepala Satuan Pengelola Program Gizi (SPPG) Jati Kudus, Maulidhina Mahardika, menegaskan, di tempatnya ada 47 karyawan terlibat di dapur tersebut, dan seluruhnya merupakan warga sekitar.
Mereka bekerja secara bergiliran dengan jam kerja rata-rata delapan jam per hari. Mereka melakukan pendistribusian yang diatur ketat.
“Pendistribusian dimulai pukul 07.00 untuk anak TK dan SD, lalu pukul 10.00 untuk SMP, dan pukul 11.00 untuk SMA,” paparnya.
Pihaknya berupaya menjaga komitmen untuk terus memberikan kualitas dan kehigienisan makanan yang disalurkan melalui program MBG.
Setiap proses, mulai dari penerimaan bahan baku hingga pendistribusian, dilakukan sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP) yang ditetapkan Badan Gizi Nasional (BGN).
“Dari karyawan datang saja sudah ada jalur masuk khusus. Mereka wajib berganti pakaian, menggunakan alas kaki bersih, hairnet atau penutup kepala, masker, dan sarung tangan,” ujar Maulidhina.
Menurutnya, langkah tersebut dilakukan untuk memastikan tidak ada kontaminasi dalam proses produksi.
“Kami menjaga kehigienisan baik dari makanan maupun dari para relawan sendiri,” ujarnya.
Setiap harinya, dapur SPPG Jati memproduksi sekitar 3.700 porsi makanan. Jumlah itu mencakup kebutuhan makan bagi siswa dari 15 sekolah serta posyandu ibu hamil dan menyusui di wilayah sekitar.
Untuk menjamin keamanan pangan, bahan baku yang masuk ke dapur SPPG Jati dipastikan berasal dari supplier terpercaya. Setiap bahan yang datang juga disortir ulang oleh tim prepare.
“Kami pastikan kualitasnya bagus dan disimpan sesuai suhu yang dianjurkan. Proses masaknya juga harus benar-benar matang. Distribusi pun tidak lebih dari dua jam setelah masak,” katanya.
Baca juga: Ikut Tangani Keracunan MBG, Pemprov Jateng Terjun Lapangan Cari Penyebab
Menariknya, anak-anak penerima program MBG juga dapat memberikan masukan terhadap menu harian. “Request masuk hampir setiap hari,” kata Maulidhina.
Namun, tidak semua permintaan langsung dipenuhi. Tim ahli gizi akan memodifikasi permintaan agar tetap sehat dan bergizi.
“Misalnya anak-anak minta burger, kami modifikasi dengan bahan bergizi. Rotinya tetap roti burger, tapi isiannya diganti dengan telur ceplok atau ayam katsu dan sayur segar agar gizinya tetap seimbang,” ungkapnya.
Maulidhina menegaskan, program MBG tidak hanya memastikan anak-anak sekolah mendapat asupan gizi seimbang, tapi juga menjadi wadah pemberdayaan masyarakat sekitar melalui lapangan kerja di dapur SPPG.(02)