DEMAK, Jatengnews.id – Penetapan 5 November 2025 sebagai Hari Perempuan Nelayan Sedunia menjadi tonggak penting dalam sejarah perjuangan perempuan pesisir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Momen ini bukan sekadar perayaan, tetapi juga wujud dari perjuangan panjang perempuan nelayan yang selama ini berjuang untuk mendapatkan pengakuan identitas dan keadilan sosial.
Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI), Masnuah, yang juga merupakan salah satu tokoh perempuan nelayan asal Demak, menegaskan bahwa hingga kini pengakuan terhadap perempuan nelayan di Indonesia masih sangat minim.
Baca juga : Kronologi 2 Nelayan Bapak dan Anak Hilang di Perairan Wedung Demak Saat Cari Ikan
“Ironinya, dari sekitar 3,9 juta jiwa perempuan nelayan di Indonesia, masih kurang dari 100 orang yang secara resmi diakui profesinya sebagai nelayan. Istilah ‘nelayan’ masih dianggap identik dengan laki-laki yang melaut, padahal perempuan turut memegang peran penting dalam seluruh rantai nilai perikanan,” ujar Masnuah, Kamis (6/11/2025).
Menurutnya, perempuan nelayan tidak hanya berperan dalam penangkapan ikan, tetapi juga dalam tahap pra-produksi, produksi, hingga pasca-produksi. Mereka menyiapkan peralatan, mengolah hasil tangkapan, hingga memasarkan produk perikanan di pasar-pasar lokal. Namun, kontribusi besar ini sering kali diabaikan dan tidak tercatat dalam data resmi pemerintah.
Masnuah juga menyoroti berbagai tantangan yang dihadapi perempuan nelayan, mulai dari privatisasi pesisir dan laut, industrialisasi perikanan tangkap, hingga pembangunan besar-besaran di wilayah pesisir yang berdampak pada hilangnya akses perempuan terhadap sumber daya laut.
“Perempuan nelayan secara langsung menghadapi perampasan hak, baik dalam bentuk pembatasan akses laut, kerentanan ekonomi, hingga bencana alam. Karena itu, PPNI hadir untuk mewadahi perjuangan perempuan pesisir agar saling belajar, bersolidaritas, dan memperjuangkan hak mereka atas pengakuan, pemberdayaan, dan perlindungan dari negara,” tegasnya.
Dalam konteks kebijakan nasional, Masnuah juga menyoroti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, yang dinilai masih bias gender. Pasalnya, frasa “perempuan” dalam undang-undang tersebut hanya disebut sekali dan dikaitkan dengan peran domestik, bukan sebagai aktor utama dalam sektor perikanan.
“Hal ini menunjukkan bahwa negara belum sepenuhnya mengakui perempuan sebagai bagian penting dalam sektor perikanan. Padahal, tanpa perempuan, rantai nilai ekonomi perikanan tidak akan berjalan utuh,” jelas Masnuah yang juga sebagai penggerak Komunitas Perempuan Nelayan Puspita Bahari Demak.
Melalui momentum Hari Perempuan Nelayan Sedunia, Masnuah berharap agar pemerintah lebih serius dalam menghadirkan kebijakan yang berpihak pada perempuan pesisir, baik dalam hal perlindungan, pengakuan profesi, maupun peningkatan kapasitas ekonomi mereka.
“Sudah saatnya negara hadir, bukan hanya memberi ruang simbolik, tetapi juga memastikan bahwa perempuan nelayan diakui, dilindungi, dan diberdayakan sebagai aktor utama dalam ketahanan pangan nasional,” pungkasnya.
Baca juga : Nelayan Perempuan Demak Suarakan Perlindungan dan Pemberdayaan
Peringatan Hari Perempuan Nelayan Sedunia tahun ini menjadi awal dari rangkaian kampanye lima minggu, yang akan berlangsung hingga 5 Desember 2025. Masnuah berharap, melalui kegiatan tersebut bisa menjadi wadah refleksi dan penguatan gerakan perempuan nelayan di seluruh dunia, termasuk dari pesisir Demak. (03)




