25.9 C
Semarang
, 13 November 2025
spot_img

Penetapan Tersangka Botok dan Teguh oleh Polisi Sebagai Bentuk Kriminalisasi Aksi Demokrasi

Dua warga Pati ditetapkan sebagai tersangka setelah aksi yoga. Temukan info lebih lanjut tentang Demo Pati dan dampaknya.

SEMARANG, Jatengnews.id – Penetapan tersangka terhadap dua warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu (AMPB) dinilai sebagai bentuk serangan balik terhadap demokrasi. Dua warga yang ditetapkan sebagai tersangka yakni Supriyono alias Botok dan Teguh Istiyanto, yang selama ini dikenal aktif menyuarakan aspirasi masyarakat Pati.

Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Pati usai aksi pemblokiran Jalur Pantura Pati–Rembang, yang dilakukan warga karena kecewa terhadap hasil rapat paripurna DPRD Kabupaten Pati.

Baca juga : Demo Pati, 100 Ribu Orang Diprediksi Bakal Gruduk Kantor Bupati

Dalam rapat tersebut, DPRD memutuskan untuk tidak memakzulkan Bupati Sadewo, meski kebijakan yang diambilnya dinilai menyengsarakan masyarakat.

Penyidik Polres Pati menetapkan Supriyono dan Teguh sebagai tersangka dengan tiga pasal sekaligus, yaitu:

Pasal 192 ayat (1) KUHP tentang menghalangi atau merusak jalan umum dengan ancaman pidana maksimal sembilan tahun penjara;

Pasal 160 KUHP tentang penghasutan dan Pasal 169 ayat (1) dan (2) KUHP tentang keikutsertaan dalam tindakan pidana.

Koordinator Kaukus Advokat Progresif Indonesia (KAPI), Nasrul Dongoran, mengecam langkah penyidik yang dinilainya tidak profesional dan melanggar hukum. Ia menilai aparat kepolisian telah menerapkan pasal-pasal KUHP secara serampangan untuk menangkap dan menahan warga yang menyampaikan aspirasi.

“Pertama, penangkapan dilakukan tanpa surat resmi. Kedua, penyidik mencari-cari kesalahan warga dengan tuduhan menghalangi jalan atau melakukan penghasutan. Ketiga, penerapan pasal 192, 160, dan 169 KUHP berpotensi menjadi pasal karet yang bisa digunakan untuk mengkriminalisasi demonstrasi di masa mendatang,” ujar Nasrul dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/11/2025).

Menurutnya, tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip kebebasan berpendapat yang dijamin oleh undang-undang.

KAPI mencatat, sejak aksi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja pada 2021 hingga Aksi May Day 2025, kepolisian kerap menggunakan Pasal 216 KUHP untuk menjerat peserta demonstrasi. Kini, penggunaan pasal 192, 160, dan 169 KUHP dalam kasus AMPB dinilai semakin memperluas potensi penyalahgunaan hukum terhadap masyarakat yang menyampaikan aspirasi.

“Jika pola seperti ini terus dibiarkan, Kepolisian akan semakin sewenang-wenang membungkam warga yang melakukan aksi damai,” tegas Nasrul.

Anggota KAPI Ricky Kristiatno juga mempertanyakan dasar hukum penetapan tersangka terhadap aksi warga AMPB yang hanya berlangsung sekitar 15 menit.

“Kalau aksi 15 menit saja dianggap kejahatan, bagaimana dengan banjir rob di jalur Pantura Demak–Sayung yang menyebabkan kemacetan berhari-hari dan kerugian masyarakat besar, tetapi dianggap biasa saja?” ujarnya.

Ricky menilai, kejahatan seharusnya dimaknai sebagai perilaku menyimpang yang merugikan masyarakat, bukan sekadar bentuk ekspresi aspirasi publik.

Baca juga : Demo Pati Lanjut 25 Agustus, Tuntut Pemakzulan Bupati Sudewo

Ia juga meminta Presiden Prabowo Subianto untuk menjamin dan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 19 DUHAM, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, dan Pasal 2 UU HAM.

KAPI mendesak Presiden Prabowo untuk mengambil langkah tegas dan memerintahkan Polda Jawa Tengah serta Polres Pati agar:

1. Membebaskan Supriyono alias Botok dan Teguh Istiyanto serta warga AMPB yang ditangkap;

2. Memerintahkan aparat penegak hukum dan lembaga terkait agar membuka ruang dialog dan menyerap aspirasi masyarakat;

3. Menghentikan praktik “Kill The Messenger” terhadap warga yang menjadi juru bicara aspirasi masyarakat. (03)

Berita Terkait

BERITA TERBARU

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

BERITA PILIHAN