32 C
Semarang
, 12 Desember 2025
spot_img

Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Jawa Tengah Naik 2025, LRC-KJHAM Desak Penegakan Tegas UU TPKS

Kepala Operasional LRC-KJHAM, Nihayatul Mukaromah, menyebut temuan ini sebagai alarm keras bagi pemerintah daerah dan aparat penegak hukum

SEMARANG, Jatengnews.id  – Lembaga LRC-KJHAM mencatat meningkatnya angka kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah sepanjang tahun 2025. Total ada 117 kasus, naik dari 104 kasus pada 2024, dan termasuk empat kasus femisida atau korban meninggal dunia.

Kepala Operasional LRC-KJHAM, Nihayatul Mukaromah, menyebut temuan ini sebagai alarm keras bagi pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Menurutnya, peningkatan kasus harus menjadi dorongan untuk memperkuat implementasi UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Baca juga: LRC-KJHAM Sebut PRT Tidak Punya Perlindungan Hukum

“Data ini menunjukkan kekerasan terhadap perempuan masih terjadi secara sistematis, bahkan di lingkungan yang seharusnya aman seperti rumah. Negara harus memastikan seluruh mekanisme layanan berjalan sesuai UU TPKS,” tegas Nihayatul, Rabu (10/12/2025).

Kota Semarang menjadi wilayah dengan jumlah laporan terbanyak, Semarang: 46 kasus, Demak: 11 kasus, Jepara: 9 kasus, Batang: 5 kasus.

Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi, Pelecehan seksual fisik: 44 kasus, Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT): 31 kasus, Perkosaan: 16 kasus, Eksploitasi seksual: 10 kasus

Dari total 111 korban, mayoritas adalah perempuan dewasa (64 orang). Namun pada kasus kekerasan seksual, korban anak justru lebih banyak, yakni 43 anak. Selain itu terdapat satu korban lansia dan lima korban dengan usia tidak teridentifikasi.

Sebagian besar kekerasan terjadi di ranah privat, mencapai 90 kasus, memperlihatkan kuatnya relasi kuasa timpang dalam keluarga dan lingkungan terdekat.

“Mayoritas pelaku adalah orang-orang yang seharusnya dipercaya: ayah kandung, suami, pacar, teman, hingga tokoh agama dan pendidik. Ini menandakan budaya permisif terhadap kekerasan masih sangat kuat,” ujarnya.

LRC-KJHAM menemukan masih banyak korban yang belum mendapatkan layanan komprehensif sesuai mandat UU TPKS. Sejumlah masalah yang muncul antara lain, Korban harus membayar sendiri visum.

Pemeriksaan medis, termasuk kandungan, tidak sepenuhnya ditanggung pemerintah. Tenaga medis belum memahami prosedur penanganan kekerasan seksual. Aparat penegak hukum belum menerapkan UU TPKS secara konsisten.

Masih ditemukan mediasi pada kasus kekerasan seksual. Vonis rendah pada kasus kekerasan seksual terhadap anak.

“Hambatan layanan dan proses hukum harus segera dibenahi. Korban tidak boleh terus-menerus dipersulit saat mencari keadilan,” tegas Nihayatul.

Untuk memperbaiki situasi, LRC-KJHAM mengeluarkan lima rekomendasi utama, Memperkuat implementasi UU TPKS di seluruh lini layanan.

Baca juga: LRC-KJHAM: Kasus Asusila ASN Semarang Tak Bisa Dimediasi

Meningkatkan perspektif korban pada kepolisian, kejaksaan, hakim, dan lembaga layanan. Memperkuat kapasitas UPTD PPA dan tenaga kesehatan dalam penanganan korban.

Memperluas jejaring layanan berbasis masyarakat. Mendorong partisipasi publik dalam upaya pencegahan kekerasan.

Pada momentum 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, LRC-KJHAM menekankan pentingnya komitmen negara untuk menjamin perlindungan setara bagi seluruh perempuan di Jawa Tengah.(02)

Berita Terkait

BERITA TERBARU

- Advertisement -spot_img

BERITA PILIHAN