Semarang, Jatengnews.id – Sejak tahun 2023, Dinas Kesehatan Kota Semarang telah menjalankan langkah adaptif berbasis data layanan bernama CKRAWALA BUANA (Analisis Situasi Kesehatan Masyarakat dengan Sistem Kerentanan Wilayah Kesehatan Berbasis Analitik Data Pelayanan).
“Inovasi ini lahir dari kebutuhan akan sistem yang mampu merespons cepat dinamika penyakit berbasis iklim,” kata Abdul Hakam, Kepala DKK Kota Semarang dikutip Selasa (14/05/2025).
Baca juga : Kemenkes Tegaskan Wolbachia Tidak Picu Keganasan Nyamuk Penyebab DBD
Melalui integrasi data kesehatan dan informasi cuaca, CKRAWALA BUANA tidak hanya memetakan risiko, tetapi juga memperkuat respons deteksi dini dan intervensi terfokus pada wilayah paling rentan secara kolaboratif.
Salah satu kekuatan CKRAWALA BUANA, lanjut Hakam terletak pada kemampuannya membaca potensi risiko wilayah. “Dengan integrasi data spasial, peta kerentanan wilayah terhadap DBD diperbarui secara periodik sebagai dasar pengambilan keputusan,” imbuhnya.
Data terbaru tahun 2025 menunjukkan sejumlah wilayah dengan potensi dampak DBD tinggi, antara lain, Cangkiran, Polaman, Bulustalan, Lamper Kidul, Terboyo Kulon, Karangturi, Kebonagung, Rejomulyo, Brumbungan, Miroto, Kranggan, Purwodinatan, Kauman, Bangunharjo, Kembangsari, Pandansari, Pendrikan Kidul, Cabean, dan Randugarut.
“Pemetaan ini menjadi panduan penting bagi berbagai pihak untuk menyesuaikan intervensi. tidak hanya untuk tim kesehatan, tapi juga masyarakat sebagai garda terdepan dalam pemberantasan sarang nyamuk,” imbuh Hakam.
Inovasi CKRAWALA BUANA membuktikan efektivitasnya. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Semarang, angka Incidence Rate (IR) DBD menurun dari 23/100.000 penduduk pada tahun 2023, menjadi 19 di tahun 2024. dan hanya 4 hingga bulan April 2025. Tak hanya itu, Case Fatality Rate (CFR) juga menunjukkan penurunan signifikan dari 16 kasus kematian di tahun 2023, menjadi 6 kasus di 2024, dan hanya 2 kasus hingga April 2025.
Penurunan ini menjadi indikasi keberhasilan pendekatan CKRAWALA BUANA dalam membaca tren penyakit dan menyesuaikan strategi respons sebelum lonjakan kasus terjadi.
Partisipasi aktif warga menjadi penentu utama keberlanjutan dan dampak dari inovasi ini. Kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan sekitar dapat memutus rantai penularan bahkan sebelum penyakit menyebar.
“Perubahan iklim menuntut kita bergerak lebih adaptif. CKRAWALA BUANA adalah bukti bahwa dengan inovasi dan kolaborasi, kita bisa menjaga masyarakat tetap sehat meski tantangan iklim semakin nyata,” pungkas Hakam.
Baca juga : Pencegahan DBD dan Leptospirosis di Demak Kepala Desa Diminta Proaktif
Melalui strategi ini, Kota Semarang memperkuat posisinya sebagai kota tangguh dalam menghadapi tantangan iklim. Keberhasilan ini, menjadi contoh bahwa sinergi, data, dan aksi nyata masyarakat bisa menjadi kunci menghadapi risiko kesehatan masa depan. (03)