Semarang, Jatengnews.id – Sidang Perdana kasus PPDS Anestesi Undip, Kedua di ruang Oemar Seno Adji Pengadilan Negeri Semarang, Senin (26/5/2025).
Sidang ini memang dilakukan secara split, sebelum sidang kesatu dihadirkan terdakwa Taufiq Eko Nugroho selaku Kaprodi Anestesi Undip dan Sri Maryani selaku Staf Administrasi Prodi Anestesi Undip.
Baca juga : Video Keluarga Minta Kasus PPDS Undip Dikawal
Kemudian sidang kedua dihadirkan terdakwa senior korban, Zara Yupita Azra. Dalam kasus ini, telah diketahui bahwa almarhum dokter Aulia Rahma yang diduga menjadi korban pemerasan.
Masih dengan Jaksa Penuntut Umum yang sama dengan sidang sebelumnya, yakni Suteno dirinya langsung membacakan tuntutannya.
Seteno membacakan, bahwa Zara ini merupakan senior yang mendampingi angkatannya korban.
Zara disebutkan, menyampaikan beberapa aturan sebagai mahasiswa PPDS Anestesi Undip yang sifatnya dinilai sangat senioritas terhadap angkatan 77 (angkatan korban).
“Terdakwa dokter Zara secara eksplisit menyampaikan dan memerintahkan agar angkatan 77 menghafal dan melaksanakan Pasal-Pasal Anestesi serta Tatakrama Anestesi,” jelasnya dalam tuntutannya.
Kabarnya aturan tersebut harus ditaati dan dihormati serta tidak boleh dibantah.
“Isi dari Pasal Anestesi dan Tatakrama Anestesi berisi kata-kata yang menekan tanpa boleh dibantu termasuk hirarki kekuasaan dari senior terhadap junior,” jelasnya.
Ia juga membacakan beberapa Pasal Anestesi.
1. Senior selalu benar
2. Bila senior salah, kembali ke pasal satu
3. Hanya ada iya dan siap
4. Yang enak hanya untuk senior
5. Bila senior dikasih enak tanya kenapa
6. Jangan pernah mengeluh kita semua pernah mengalami
7. Jika masih mengeluh siapa suruh masuk anestesi
Kemudian dirinya juga membacakan tatakrama anestesi yang isinya;
1. Selalu, berkata ijin jika ingin berbicara dengan senior
2. Semester nol hanya boleh bicara dengan semester satu, dilarang keras berbicara dengan senior diatasnya, kecuali senior yang bertanya langsung
3. Biar kenal dengan senior atau teman-teman akrab senior di IBS atau instalasi bedah sentral haram hukumnya semester nol berbicara dengan semester dua atau tiga dan diatasnya.
Kabarnya, pasal dan tatakrama ini terdokumentasi dalam handphone saksi.
Berdasarkan arahan Zara tersebut, mulai mengimplementasikan kewajiban seperti menyediakan makan dan kebutuhan senior lainnya.
“Hal ini menggunakan kas angkatan yang ditampung pada rekening atas nama Aulia Risma (bendahara angkatan) dan atas nama Bayu A Wibowo,” ujarnya.
Proses penyediaan makanan ini, kabarnya bukan merupakan hal sukarela namun kewajiban harus dilakukan sesuai Pasal Anestesi nomor empat.
Kejadian ini, dialami korban dan angkatannya pada tahun 2022 – 2023.
“Untuk pembelian makanan tersebut, bendahara angkatan 77 mentransfer kepada saksi Hasyim Edi Prabowo (pembantu) sebesar Rp 494.171.000 (dari rekening Aulia) kemudian dari rekening Bayu sebesar Rp 272.500.000,” paparnya yang harus dibayarkan untuk makan senior secara rutin selama 6 bulan.
Tidak hanya harus membayarkan makanan, mereka juga harus membayarkan joki tugas seniornya.
Angka pembayaran joki tugasnya yang pernah dibayarkan Aulia, mencapai Rp 71 juta dan Rp 20 juta.
Pihaknya juga menyebutkan bukti transfer lain sebesar Rp 75 juta dan Rp 65 juta yang dilakukan oleh almarhum.
Kiranya, sistem senioritas dan dugaan tindakan doktrinasi ini dinilai mengganggu psikologis korban.
“Dokter Zara juga pernah melakukan evaluasi dengan kata-kata kasar, seperti goblok, lelet, payah dan bangsat. Serta memberikan hukuman berupa berdiri sesuai perintah senior,” terangnya.
Upaya-upaya intimidatif ini juga dilakukan melalu pesan whatsapp.
“Udah pada pintar sampai tidak berani respon. Kupersulit hidup kalian selama masih di anestesi,” ujarnya.
Bahkan, dirinya juga mengancam jika sampai Zara di marahi oleh seniornya.
“Kalau aku sampai kena hukuman, semua mati tidak hanya Risma (korban),” jelasnya isi pesan grup.
Kejadian ini, disimpulkan menjadi penyebab gangguan psikologis dan psikis korban yang merujuk pada mengakhiri hidupnya sendiri.
Penarikan iuran ini, dinilai melanggar aturan Surat Keputusan (SK) Rektor Undip sehingga melanggar tindak pidana dan melanggar kode etik kedokteran.
Secara total yang mereka ungkap, ada sekitar Rp 800 juta uang yang telah diraup dari angkatan korban akibat tindakan senioritas yang di doktrin kan oleh Zara.
“Perbuatan Zara adalah tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 368 ayat 1 KUHP, Junto Pasal 64 ayat 1 KUHP,” sebutnya pasal yang dilanggar.
Baca juga : Ibu Mendiang Mahasiswi PPDS Undip Laporan ke Polda Jateng
Selain itu, Zara juga dianggap melanggar Pasal 335 ayat 1 KUHP junto Pasal 64 Ayat 1 KUHP. (Kamal-03)