Beranda Daerah Mahasiswa Undip Antusias Kupas Isu Ekstremisme Kekerasan Usai Pemutaran Film Road to...

Mahasiswa Undip Antusias Kupas Isu Ekstremisme Kekerasan Usai Pemutaran Film Road to Resilience

Mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional (HI) FISIP Universitas Diponegoro (Undip) Semarang antusias mengikuti pemutaran film dokumenter Road to Resilience pada Selasa (3/6/2025). (Foto : Dokumen)

Semarang, Jatengnews.id – Antusiasme dirasakan oleh mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional (HI) FISIP Universitas Diponegoro (Undip) saat pemutaran film dokumenter Road to Resilience, Selasa (3/6/2025).

Film yang digelar di Aula Fimena FISIP Undip Semarang ini merupakan produksi Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP) bersama ruangobrol.id sebagai bagian dari kampanye edukasi pencegahan ekstremisme kekerasan.

Baca juga : Sebanyak 7254 Mahasiswa Undip Ikuti KKN

Mahasiswa aktif mengajukan pertanyaan kritis seusai pemutaran film, terutama terkait sosok Febri Ramdani, tokoh utama film yang nekat berangkat ke Suriah untuk menyusul ibunya yang telah lebih dulu berada di wilayah kekuasaan ISIS.

Salah satunya, Sakina, mahasiswa HI angkatan 2024, mempertanyakan bagaimana Febri bisa mengakses wilayah konflik. “Bagaimana caranya bisa sampai masuk ke negara konflik? Apa gampang aksesnya?” tanyanya.

Pertanyaan lain muncul seputar kondisi di markas ISIS, termasuk situasi yang dihadapi Febri dan keluarganya selama berada di sana. Para mahasiswa menilai film ini sangat relevan dengan sejumlah mata kuliah seperti studi konflik, hubungan internasional kontemporer serta keamanan global.

Direktur ruangobrol.id, Noor Huda Ismail, menegaskan bahwa film ini ditujukan untuk generasi muda karena mereka merupakan kelompok paling rentan terhadap paparan ekstremisme bahkan sejak di bangku sekolah.

Dia mencontohkan mantan Napiter Hadi Masykur yang terpapar sejak di bangku SMP. Tidak sedikit juga yang bergabung saat di bangku kuliah.

Kegiatan di FISIP Undip ini merupakan lanjutan dari forum diskusi terfokus (FGD) sehari sebelumnya di Hotel Noormans, Semarang pada Senin (2/6/2025) kemarin.

Acara itu merupakan bagian dari rangkaian roadshow nasional setelah peluncuran resmi program di Jakarta pada akhir Februari 2025 oleh Kepala BNPT Komjen Pol Eddy Hartono. Kota Semarang menjadi titik terakhir setelah Jakarta, Bandung, Lampung, dan Surabaya.

Noor Huda menjelaskan bahwa strategi komunikasi naratif dipilih untuk menjangkau publik secara lebih emosional dan efektif. Alih-alih menyampaikan ceramah normatif, narasi personal digunakan agar pesan lebih mudah dicerna dan mengena.

“Isu terorisme dan radikalisme itu berat dan menakutkan. Namun, lewat film dan kisah nyata, seperti perjalanan Febri, publik bisa memahami bahwa semua ini berawal dari pilihan kecil yang kemudian berdampak besar,” ucapnya.

Dalam film Road to Resilience mengisahkan Febri Ramdani, pemuda 22 tahun yang nekat berangkat ke Suriah pada 2016. Ia menyusul ibunya yang telah lebih dulu bergabung dengan jaringan ISIS.

Alih-alih menemukan kehidupan yang dijanjikan, Febri justru terjebak dalam kekejaman dan penindasan. Ia dan 16 anggota keluarganya akhirnya direpatriasi ke Indonesia pada Agustus 2017.

Namun, kepulangan itu bukan akhir perjuangan. Febri harus menghadapi stigma sosial, tekanan ekonomi, serta krisis identitas yang membuatnya sempat mengalami depresi berat.

Selain film, kampanye ini juga menghadirkan bedah buku Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah karya Noor Huda Ismail. Buku ini mengangkat kisah nyata para WNI yang terlibat dalam konflik Suriah, serta menganalisis motif di balik keterlibatan mereka dengan menggunakan pendekatan teori 3N (needs, networks, narratives) dan identity fusion.

Buku ini menyoroti faktor-faktor pendorong seperti kemiskinan, keterasingan sosial, dan trauma kolektif, serta faktor penarik seperti janji surga, keuntungan ekonomi, atau semangat petualangan. Juga dibahas peran propaganda digital dan media sosial dalam menciptakan ruang gema (filter bubble) yang memperkuat paham ekstrem.

“Kalau pendekatannya hanya lewat ceramah normatif seperti yang biasa dilakukan tokoh agama formal, itu tidak cukup. Anak-anak sekarang belajar dari TikTok, dari influencer, bukan dari ulama,” ujar Huda.

Dia juga menegaskan bahwa narasi “zero attack” atau nihil serangan kerap menyesatkan publik karena mengabaikan fakta bahwa banyak aksi teror yang berhasil dicegah sebelum terjadi.

“Tidak adanya serangan bukan berarti tidak ada gerakan. Banyak aksi yang gagal karena berhasil dicegah. Itu disebut failed attack. Kalau masyarakat hanya percaya ‘zero attack’, mereka bisa lengah,” tegasnya.

Selain ratusan mahasiswa, regiatan di Semarang diikuti oleh lintas sektor. Dari 20 peserta FGD yang terdaftar, jumlah hadirin melonjak menjadi 40 orang. Mereka berasal dari Kesbangpol Kota Semarang, Diskominfo Kota Semarang, Disdukcapil Kota Semarang, Densus 88 Antiteror, Imigrasi Semarang, Balai Pemasyarakatan (Bapas) Semarang, Dinas Sosial Kota Semarang, organisasi keagamaan, Forum Anak Semarang dan Persadani.

“Pelaku ekstremisme kini tidak hanya berasal dari kelompok tertentu. Bisa dari ibu rumah tangga, mahasiswa, bahkan kalangan elit. Pendekatan keamanan saja tidak cukup. Kita harus masuk ke ruang digital, ke cara berpikir generasi muda,” tambah Huda.

Sejalan dengan itu, Alfrida Heaniti Panjaitan, Analis Kebijakan Ahli Muda BNPT, menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari implementasi Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan (RAN PE).

“Ini adalah bentuk aktualisasi dari roadmap komunikasi strategis fase pertama RAN PE. Dari 135 aksi, 132 sudah dilaksanakan. Sekarang kami fokus mempercepat fase kedua untuk periode 2025–2029,” jelasnya.

Menurutnya, tantangan terbesar saat ini adalah menjangkau ruang digital yang menjadi ladang subur penyebaran paham ekstrem bagi kelompok muda.

“Data Komdigi menunjukkan mayoritas pengguna internet di Indonesia adalah anak muda. Jadi pendekatan kita harus lintas sektor dan berbasis literasi digital yang kuat,” kata Alfrida.

Indah Pengestu Amaritasari, dari Tim Sekretariat Bersama RAN PE BNPT, menambahkan bahwa ada tiga faktor utama seseorang terjerumus dalam ekstremisme kekerasan. Pertama, faktor push atau pendorong, yaitu kondisi ketidakberdayaan individu dan pencarian solusi lewat kelompok ekstrem. Kedua, faktor pull atau penarik, seperti janji imbalan ekonomi, semangat jihad, atau petualangan.

Baca juga : Polisi Belum Temukan Bukti Perundungan Kasus Meninggalnya Mahasiswa UNDIP

“Ketiga adalah faktor fasilitator, yaitu dinamika kelompok dan lingkungan yang memperkuat ketertarikan individu pada jaringan kekerasan. Contohnya budaya kekerasan, balas dendam, atau ketidakpercayaan terhadap negara,” jelas Indah. (03)

Exit mobile version