
MATAHARI baru sepenggalah saat Mubarok, seorang petani jambu air di Desa Weding, Kecamatan Bonang, mulai memeriksa barisan pohon jambunya.
Daun-daun hijau yang segar dan buah merah mengilat menggantung seperti lampion, menandakan musim panen telah tiba. Tapi di balik keberlimpahan itu, ada tantangan yang tak kalah besar, permintaan pasar yang terus melonjak, melebihi kemampuan produksi.
“Permintaan tinggi sekali. Kadang sampai kewalahan. Hari ini kirim ke Surabaya, besok sudah diminta lagi ke Jakarta,” ujarnya sembari tersenyum kecut, Selasa (8/7/2025).
Baca juga: Produksi Jambu Air Demak Tembus 90 Ton Per Tahun
Dari lahan seluas 2,6 hektare miliknya, Mubarok berhasil menghasilkan hingga 90 ton jambu per tahun. Dengan sistem panen 2–3 kali dalam setahun, ia bisa memasok rata-rata 2 ton jambu setiap hari ke berbagai pasar di kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Jambu air jenis citra yang dibudidayakannya dikenal memiliki kualitas unggulan: manis segar, sedikit asam, renyah, dan berkulit merah cerah mengilap.
Kualitas Tinggi, Harga Pasar Naik
Tidak heran jika jambu Demak kerap menjadi primadona di kalangan pedagang dan konsumen. Harga di tingkat kebun hanya berkisar Rp8.000–Rp10.000 per kilogram, namun bisa melonjak hingga Rp25.000 per kilogram di pasar pengecer kota.
“Kalau beli langsung dari kebun, harganya jauh lebih murah dan buahnya masih segar,” ujar Samsul Hadi, warga lokal yang datang khusus membeli untuk dijual kembali di Pasar Karanganyar.
Meski panen melimpah, jalan menuju keberhasilan tidak selalu mulus. Cuaca ekstrem dan curah hujan yang tinggi memaksa para petani bekerja ekstra. Saat musim penghujan, ancaman jamur bisa membuat buah membusuk dalam hitungan hari. Solusinya: penyemprotan fungisida yang rutin.
Namun tantangan terbesar bukan pada budidaya, melainkan pada distribusi dan pemasaran. Infrastruktur yang terbatas, biaya logistik yang tinggi, dan kurangnya akses teknologi pascapanen membuat potensi besar ini belum sepenuhnya dimanfaatkan.
“Kalau ada bantuan cold storage atau sistem distribusi yang cepat, kami bisa kirim lebih banyak dan lebih segar,” imbuh Mubarok.
Harapan dari Tanah Subur Demak
Produksi yang tinggi menunjukkan bahwa Demak bukan hanya sentra pertanian biasa, tapi lokomotif buah jambu nasional. Sayangnya, kesenjangan antara produksi dan pasar masih terasa. Di saat permintaan terus naik, para petani justru kewalahan memenuhi kuota. Di sinilah peran pemerintah daerah dan pelaku usaha dibutuhkan.
Baca juga: Perkuat Ekonomi Rakyat, Demak Gencarkan Pelatihan UMKM Berbasis Inovasi dan Digitalisasi
Akses ke pasar digital, pelatihan teknologi pascapanen, serta kemitraan langsung dengan pelaku distribusi nasional bisa menjadi jalan keluar. Dukungan tersebut tidak hanya akan mendorong pertumbuhan ekonomi petani, tapi juga menjaga ketahanan pangan hortikultura Indonesia.
“Kami punya buahnya, punya tanahnya, tinggal bantu pasarkan dan jaga kualitasnya,” tutup Mubarok penuh harap. (01).