WONOSOBO, Jatengnews.id – Awan hitam menggantung di langit Dieng. Rintik hujan mulai turun, menyusuri tebing-tebing curam lalu berkumpul menjadi aliran deras di Sungai Wangan Aji. Di ujung aliran itu, berdiri sebuah bendungan kecil yang menjadi saksi perubahan besar bagi masyarakat pesantren Raudhotuttholibin.
Di balik bendungan itu, Nur Kaffi, pria paruh baya yang juga alumni pesantren, tampak sigap memantau debit air. Tangannya sesekali membuka pintu air agar aliran tetap stabil ke kolam tandu.
“Selama 24 jam kami berjaga-jaga. Kalau air meluap, turbin dan generator bisa terganggu,” ujarnya kepada Jatengnews.id, Kamis (24/10/2025).
Baca juga: Inovasi Dosen Undip Ubah Limbah Plastik Jadi Energi Terbarukan
Sudah 19 tahun Kaffi mengabdi menjaga Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Wangan Aji, unit energi yang dikelola Koperasi Pesantren Raudhotuttholibin sejak 2006. Rutinitas itu tak pernah membuatnya jenuh. “Energi yang dihasilkan ini jadi sumber rezeki bagi pesantren. Kalau air mengalir, koperasi pun terus hidup,” katanya sambil tersenyum.
Dari Sungai Jadi Sumber Usaha
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, aliran Sungai Wangan Aji bisa menjadi ladang ekonomi. Tahun 2006, kebutuhan listrik di pondok sangat besar, sementara pasokan terbatas. Dari sanalah muncul ide membangun PLTMH, berkat dukungan Koperasi Energi Indonesia (Kopenindo) dan pendanaan Asian Development Bank (ADB). Proyek itu kemudian dikelola langsung oleh koperasi pesantren.
“Awalnya kami tidak menyangka bisa mengelola energi. Tapi setelah didampingi Kopenindo dan PLN, hasilnya luar biasa. Koperasi berkembang, dan santri ikut merasakan manfaatnya,” tutur Kaffi.
Kini, setiap tahun PLTMH Wangan Aji menghasilkan 486.180 kWh energi listrik. Dengan harga jual Rp656 per kWh ke PT PLN, koperasi memperoleh pendapatan sekitar Rp315 juta per tahun. Hasil tersebut sebagian besar digunakan untuk mendukung kegiatan pesantren dan mengembangkan sepuluh unit usaha produktif baru di bawah koperasi.
Selain menambah pendapatan, keberadaan PLTMH juga membuka lapangan kerja. “Operator dan penjaga ada enam orang. Setidaknya kami bisa membantu mengurangi pengangguran di sekitar pesantren,” imbuh Kaffi.
Minim Pesaing, Potensi Besar
Usaha energi listrik mikrohidro tergolong unik dan masih minim pesaing. Kaffi menyebut, peluang ini bisa digarap oleh banyak koperasi lain, apalagi di daerah seperti Wonosobo yang dikelilingi aliran sungai.
“Listrik yang dihasilkan langsung dibeli PLN. Jadi usaha ini tidak perlu repot mencari pembeli. Kalau saja dimaksimalkan, satu sungai bisa dibuat sampai 20 PLTMH,” jelasnya.
Namun, kendala utama masih pada biaya pembangunan yang cukup besar. Meski begitu, Kaffi optimistis koperasi lain bisa mengikuti jejak Raudhotuttholibin. “Koperasi Desa Merah Putih, misalnya, punya peluang besar membangun PLTMH. Hasilnya bisa jadi pemasukan tetap dan membantu menjaga lingkungan,” ujarnya.

Kunci Ketahanan Energi Nasional
Potensi besar energi hidro ini juga diamini oleh Heru Nugroho, peneliti energi terbarukan dari Universitas Sains Al-Qur’an (Unsiq) Wonosobo. Menurutnya, PLTMH Wangan Aji adalah contoh konkret bagaimana gerakan dari akar rumput mampu memperkuat ketahanan energi nasional.
“Satu sungai bisa dikembangkan hingga 20 PLTMH. Kalau semua koperasi di Wonosobo bergerak, akan ada ratusan pembangkit kecil yang menopang pasokan energi nasional,” ungkapnya.
Baca juga: PLN Sukses Terangi Pulau di Karimunjawa Jepara Dengan Energi Terbarukan
Heru juga menilai langkah tersebut sejalan dengan visi Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dalam memperkuat kemandirian energi nasional. “Gerakan energi bersih tidak bisa hanya dari pemerintah pusat. Harus ada kolaborasi antara PLN dan koperasi sebagai motor penggerak di daerah,” tegasnya.
Menuju Ekosistem Energi Bersih
Sebelumnya, Direktur Manajemen Risiko PT PLN, Suroso, menyebut potensi tenaga hidro di Indonesia mencapai 28,9 gigawatt (GW), sebagian besar tersebar di Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. “Ke depan, PLN ingin mewujudkan ekosistem energi bersih yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran,” ujarnya.
Di tengah upaya itu, langkah kecil yang dilakukan koperasi pesantren di Wonosobo menjadi bukti nyata bahwa transisi energi bisa dimulai dari desa. Dari aliran sungai yang sederhana, mengalir pula semangat kemandirian dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.
“Selama air masih mengalir di Sungai Wangan Aji,” kata Nur Kaffi menutup pembicaraan, “PLTMH ini akan terus menjadi sumber cahaya — bukan hanya untuk pesantren, tapi juga untuk kehidupan.” (Jamil)







