BANYUMAS, Jatengnews.id – Kabut pagi turun perlahan di lereng Gunung Slamet. Di sela rimbunnya pepohonan, suara gemericik air menyapa dari kejauhan. Hawa sejuk langsung merasuk begitu kaki menapaki jalan menuju Objek Wisata Curug Jenggala, Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden.
Suasana pedesaan yang asri, udara penuh oksigen, dan nyanyian burung liar seakan menyambut setiap langkah. Di tengah perjalanan, pemandangan mengejutkan muncul — sebuah kolam besar berisi air sebening kaca. Saat kabut tersibak, wajah air itu memantulkan langit biru dan pepohonan di sekitarnya.
Kolam itu bukan sekadar kolam wisata. Inilah Kolam Tando Harian (KTH) Muntu, jantung dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Ketenger, yang mengalirkan energi dari hulu Sungai Banjaran menuju rumah pembangkit di Desa Melung, Kecamatan Kedungbanteng.
Baca juga: PLTMH Wangan Aji, Koperasi Pesantren Penggerak Energi Terbarukan di Wonosobo
Lebih menakjubkan lagi, bendungan itu sudah ada sejak tahun 1938, dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda — dan masih berfungsi hingga hari ini, 86 tahun kemudian.
“Air ini sumber kehidupan bagi warga. Maka dari itu, kami semua menjaganya bersama-sama,” ujar Purnomo, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Gempita Ketenger, sembari menatap aliran sungai yang tak pernah kering.
Air yang Menghidupi, Energi yang Menyatu
Di balik deru turbin PLTA Ketenger, ada tangan-tangan warga desa yang menjaga sumber air tetap lestari. Mereka sadar, aliran Sungai Banjaran bukan hanya penggerak listrik, tapi juga penggerak ekonomi dan kehidupan.
Dari hulu sungai inilah, Curug Jenggala lahir — sebuah destinasi wisata alam yang kini menjadi tumpuan hidup ratusan keluarga.
“Kami bisa memberdayakan ratusan kepala keluarga. Kalau akhir pekan, pengunjung bisa mencapai 1.500 orang per hari,” tutur Purnomo bangga.

Hubungan antara warga dan PLN Indonesia Power pun terjalin erat. Mereka bukan hanya berbagi listrik, tetapi juga berbagi semangat menjaga alam. Melalui program reboisasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Banjaran, ribuan pohon keras seperti kopi, aren, dan pucung ditanam bersama.
“Kita dibantu Indonesia Power menanam kopi. Tujuannya, masyarakat tidak merambah hutan, tapi tetap bisa hidup dari hasil bumi,” katanya.
Bahkan, mereka yang dulunya bekerja sebagai pembalak liar kini ikut menjaga hutan. Purnomo dan kelompoknya merekrut para eks pemburu dan perambah untuk menjadi pengelola wisata alam. Dari mereka yang dulu merusak, kini menjadi penjaga kehidupan.
Warisan Kolonial yang Masih Mengalirkan Cahaya
Air dari KTH Muntu mengalir melalui pipa baja sepanjang 2,8 kilometer menuju power house di Desa Melung. Dua unit pembangkit peninggalan Belanda masih berfungsi normal hingga kini.
“Unit lama masih bagus. Kita tetap operasikan karena performanya luar biasa stabil,” ujar Bayu Pribadi, Team Leader PLTA Ketenger.
Pada tahun 1998, PLN menambah unit pembangkit ke-3 memanfaatkan bendungan Jepang di Curug Bayan. Tak berhenti di situ, unit ke-4 dibangun tepat di bawahnya — bukan untuk menggantikan, tapi memanfaatkan air sisa dari unit sebelumnya agar tak terbuang sia-sia.
Kreativitas ini membawa PLTA Ketenger menembus panggung internasional. Di Kuala Lumpur Convention Centre, Malaysia, PLTA Ketenger meraih Winner ASEAN Renewable Energy Project Award 2025 untuk kategori On Grid Local Grid.
“Biasanya pengembangan butuh tempat baru dan reservoir besar. Tapi unit 4 ini memanfaatkan air keluaran dari unit lama. Efisien dan ramah lingkungan,” jelas Bayu.
Energi Bersih, Masa Depan Hijau
Bagi Nazrul Very Andhi, Senior Manager PT PLN Indonesia Power UBP Mrica, keberhasilan PLTA Ketenger adalah bukti bahwa energi bersih bisa berjalan seiring dengan kesejahteraan masyarakat.
PLTA Ketenger, yang beroperasi sejak 1939, kini menyuplai listrik nasional dengan kapasitas 8,46 megawatt. Ia adalah PLTA tertua kedua di Indonesia setelah PLTA Jelok Salatiga.
“PLTA ini tanpa emisi dan tanpa limbah. Investasinya besar di awal, tapi biaya operasionalnya kecil dan ramah lingkungan,” ujarnya.
Baca juga: Inovasi Dosen Undip Ubah Limbah Plastik Jadi Energi Terbarukan
Dengan bauran energi baru terbarukan (EBT) yang terus meningkat, PLTA Ketenger menjadi bagian penting dari langkah PLN menuju Net Zero Emission 2060.
Air yang dulu hanya menggerakkan turbin kini juga menggerakkan perubahan — dari kesadaran menjaga alam hingga pemberdayaan warga desa.
Cahaya yang Tak Pernah Padam
Sore itu, ketika matahari mulai condong ke barat, suara turbin di rumah pembangkit terdengar seperti napas bumi yang tenang. Aliran Sungai Banjaran terus mengalir, menyalakan lampu-lampu di rumah warga jauh di seberang pulau.
Dari kaki Gunung Slamet, energi bersih itu terus mengalir — menyala bersama kehidupan dan harapan masyarakat Ketenger.
PLTA Ketenger bukan sekadar pembangkit listrik. Ia adalah kisah tentang energi yang tak pernah padam, karena dijaga oleh manusia yang mencintai alamnya. (Jamil)