JAKARTA, Jatengnews.id – Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) membantah pernyataan Wakil Ketua Komisi V DPR RI yang menyebut banyak kapal tua beroperasi di bawah standar keselamatan. Pernyataan tersebut muncul setelah tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya.
Ketua Bidang Tarif dan Usaha Gapasdap, Ir. Rahmatika, M.Sc., menegaskan bahwa secara teknis tidak ada istilah “kapal tua”, melainkan hanya “kapal tua secara ekonomis”.
“Kapal-kapal di Indonesia rata-rata berusia 30–40 tahun dan semuanya masih memenuhi standar kelayakan teknis,” ujar Rahmatika dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (9/7/2025).
Baca juga: Kenaikan Kurs Dollar dan Kebijakan Tarif Lambat Dinilai Persulit Usaha Angkutan Penyeberangan
Menurutnya, kapal-kapal Indonesia tunduk pada standar internasional SOLAS karena Indonesia telah meratifikasi aturan International Maritime Organization (IMO). Kapal yang lebih tua justru harus mengikuti prosedur inspeksi dan pengedokan lebih ketat, termasuk penggantian komponen konstruksi minimal 17% untuk menjamin keamanan.
“Setelah menjalani pengedokan tahunan, kapal jadi seperti baru kembali. Ini prosedur standar internasional,” jelas Rahmatika, yang juga anggota Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).
Ia menyayangkan pernyataan DPR yang dianggap tidak berdasar dan menyesatkan publik.
Soroti Ketimpangan Tarif dan Beban Operasional
Gapasdap juga menyoroti tarif angkutan penyeberangan di Indonesia yang dinilai terendah di dunia. Saat ini, tarif penyeberangan rata-rata hanya Rp1.033 per mil, jauh di bawah Thailand (Rp2.984), Filipina (Rp1.995), dan Jepang (Rp14.135).
“Tarif kita belum sesuai formula yang ditetapkan. Masih kurang 31,8 persen dari hitungan wajar. Pengusaha kesulitan menutupi biaya operasional dan banyak yang bangkrut,” ujar Rahmatika.
Ia menyebut, KMP Tunu Pratama Jaya bahkan sedang dalam proses akan dijual sebelum tenggelam karena beban biaya yang tak tertutupi.
Infrastruktur Pelabuhan Tidak Mendukung
Lebih lanjut, Gapasdap mengkritik kondisi fasilitas pelabuhan penyeberangan yang belum memenuhi standar keselamatan:
Minimnya jumlah dermaga membuat kapal hanya bisa beroperasi 30% per bulan.
Masih digunakan dermaga LCM yang tidak layak, membahayakan keselamatan karena kapal bisa “duduk” di dasar laut.
Tidak ada timbangan kendaraan, portal ODOL, atau alat pemindai barang seperti di bandara.
“Semua itu memperburuk keselamatan pelayaran. Tapi selama ini justru operator kapal saja yang disalahkan,” tegasnya.
Regulator Berperan Sentral dalam Keselamatan
Rahmatika menekankan bahwa keselamatan pelayaran adalah tanggung jawab empat pihak utama: regulator, operator, fasilitator, dan konsumen. Ia menegaskan regulator punya peran utama, sesuai amanat UU Pelayaran No. 17 Tahun 2008.
Baca juga: 10 Armada PT Dharma Lautan Utama Terima Penghargaan Pelayanan Prima Utama dari Kemenhub
“Cuaca juga memengaruhi kecelakaan. Tidak bisa semata menyalahkan operator. Kita tunggu hasil investigasi KNKT dan PPNS. Jangan berspekulasi,” tambahnya.
Gapasdap siap berdialog dengan DPR RI untuk menjelaskan kondisi nyata industri angkutan penyeberangan, yang saat ini disebut berada dalam iklim usaha yang tidak kondusif.
“Transportasi menyangkut keselamatan publik, jadi komentar harus berdasar data. Jangan asal tuduh,” pungkasnya. (01).