Beranda Daerah Kisah Perjuangan Yati Melawan HIV: Dari Takut Mati hingga Jadi Aktivis ODHIV

Kisah Perjuangan Yati Melawan HIV: Dari Takut Mati hingga Jadi Aktivis ODHIV

Yati, perempuan asal Demak, berani speak up setelah positif HIV. Kisahnya menggugah tentang perjuangan, pengobatan, dan harapan tanpa stigma.

Yati, salah satu penyintas HIV di Demak, tetap semangat dan tersenyum menjalani hidup dengan dukungan keluarga dan komunitas. (Foto: Sam)

DEMAK, Jatengnews.id – Yati (45), seorang perempuan asal Kabupaten Demak, memutuskan untuk berani speak up setelah dinyatakan positif HIV pada tahun 2016. Keputusan ini ia ambil bukan tanpa alasan.

Setelah suaminya meninggal dunia akibat AIDS, Yati merasa harus terbuka—terutama karena keluarga besarnya sudah mengetahui kondisi tersebut sejak awal.

Baca juga : Kasus DBD di Indonesia Tembus 91 Ribu

“Sejak suami saya meninggal, otomatis saya harus bicara. Keluarga sudah tahu semua, dan saya diminta untuk tes,” ujar Yati, Kamis (10/7/2025).

Yati pertama kali mengetahui kondisi suaminya dari kakaknya yang menanyakan langsung kepada dokter karena suaminya dirawat cukup lama tanpa perbaikan.

“Dokter bilang kalau suami positif HIV. Seminggu setelah pemakaman, saya tes di Puskesmas dan hasilnya saya juga positif,” tambah Yati.

Pada tahun 2016, akses terhadap terapi antiretroviral (ARV) di daerah seperti Demak masih sangat terbatas. Yati pun harus menjalani pengobatan di rumah sakit.

“Saya orang awam, saya pikir saya akan mati. Tapi di RSUD Kudus, saya diberi tahu agar tidak takut karena sekarang sudah ada obatnya,” kenangnya.

Perjalanan pengobatan tidak mudah. Yati mengalami efek samping serius dari ARV, seperti reaksi alergi berat hingga kulit melepuh. Tangan dan kakinya pun terasa dingin meskipun belum malam hari.

Meski menghadapi banyak rintangan, Yati merasa bersyukur karena mendapatkan dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar. Ia tidak dijauhi oleh tetangga, yang menurutnya menjadi motivasi besar untuk tetap semangat dan terbuka kepada publik.

Kini, Yati aktif sebagai anggota kelompok dukungan sebaya ODHIV (Orang dengan HIV), yang rutin bertemu setiap dua bulan sekali.

“Di kelompok dukungan, kami saling menguatkan. Banyak wawasan dan semangat di situ,” ujarnya.

Yati berharap masyarakat bisa menerima ODHIV tanpa stigma, dan memperlakukan mereka sebagaimana manusia pada umumnya.

“Kalau ada tetangga yang membicarakan saya, yo wes ben lah. Yang penting aku sehat. Aku juga tidak ikut makan mereka. Kalaupun lapar dan nggak punya uang, aku usaha sendiri, hidup di rumah sendiri, tidak pernah merepotkan orang lain,” tegasnya.

Seorang penjangkau yang enggan disebutkan namanya menjelaskan bahwa peran mereka adalah membantu penanggulangan HIV/AIDS secara langsung di lapangan. Mereka menyasar komunitas berisiko tinggi seperti Lelaki Seks Lelaki (LSL) dan Wanita Pekerja Seks (WPS) dengan pendekatan yang personal dan tertutup.

“Tugas kami tertutup untuk menciptakan kenyamanan bagi komunitas sasaran. Kami berteman, membangun komunikasi, lalu memberi laporan ke KPA atau Dinas Kesehatan agar bisa ditindaklanjuti dengan penyuluhan atau screening,” jelasnya.

Baca juga : Pengurus PKK Jawa Tengah 2025-2030 Digembleng Kepemimpinan dan Manajemen Program di Yogyakarta

Di Kabupaten Demak sendiri, saat ini terdapat tujuh penjangkau aktif yang memiliki komunitas sasaran berbeda sesuai latar belakang dan kelompok yang mereka dekati. (03)

Exit mobile version