BANYUWANGI, Jatengnews.id – Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Haryo Soekartono (BHS), meninjau langsung kondisi Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, pada Jumat (18/7/2025).
Dalam kunjungan tersebut, BHS menyampaikan keprihatinannya atas kemacetan panjang yang terjadi akibat dihentikannya operasional 15 kapal Landing Craft Tank (LCT) di dermaga LCM (Landing Craft Machine).
“Saya menekankan agar ke-15 kapal LCT yang berada di dermaga Plensengan segera dioperasikan kembali. Banyak alat berat yang terjebak kemacetan, padahal ini berdampak pada kelancaran distribusi logistik industri dan pariwisata, khususnya ke wilayah Bali. Jangan sampai pertumbuhan ekonomi Bali terganggu,” tegas BHS.
Baca juga: Bambang Haryo Minta Pemerintah Behani Aturan Tegas di Terminal Mangkang
Politisi sekaligus alumni Teknik Perkapalan ITS Surabaya ini menargetkan seluruh alat berat dan kendaraan terjebak dapat segera diangkut paling lambat Sabtu sore, 19 Juli 2025.
Ia menjelaskan bahwa kapal-kapal LCT tersebut sudah memiliki sertifikat kelaikan laut pasca turun dok dan telah lolos ramp check selama angkutan Lebaran. Menurutnya, kapal-kapal itu sudah mendapatkan surat izin berlayar sebelum keberangkatan, sehingga layak untuk segera kembali beroperasi.
Dorongan Penyesuaian Tarif Penyeberangan
BHS juga mendorong percepatan penyesuaian tarif penyeberangan yang dinilainya sudah tertinggal. Penyesuaian ini penting untuk mendukung biaya operasional dan pemenuhan standar keselamatan pelayaran.
“Tarif kapal penyeberangan sudah tertinggal lebih dari 38% berdasarkan kajian pemerintah, Kemenko Marvest, YLKI, dan Gapasdap sejak 2019. Harus segera disesuaikan agar operator dapat memenuhi standar minimum keselamatan dan pelayanan,” jelasnya.
Ia juga menekankan perlunya sistem tiket yang mewajibkan penumpang kendaraan dan pengemudi membeli tiket terpisah, agar manifest penumpang tidak rancu. Hal ini merujuk pada tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali.
Soroti Sistem Keselamatan dan Penanganan Kecelakaan
Menurut BHS, evaluasi kecelakaan pelayaran tidak boleh hanya menyalahkan operator, tetapi harus menyeluruh, melibatkan semua pemangku kepentingan keselamatan pelayaran, termasuk regulator, fasilitator, operator, hingga tim penyelamat seperti KPLP, Basarnas, Bakamla, dan Polair.
“Proses penyelamatan seharusnya merespon maksimal dalam waktu 25 menit, sesuai amanat UU No. 29 Tahun 2014. Ini memerlukan SDM dan peralatan memadai. Sayangnya, dalam kasus KMP Tunu Pratama Jaya, hampir 95% penyelamatan dilakukan oleh nelayan,” ujar BHS.

Ia pun memberikan apresiasi dan penghargaan kepada 16 nelayan yang berhasil menemukan 26 korban, baik yang selamat maupun meninggal dunia.
Kampanye Keselamatan Penyeberangan
Sebagai anggota Badan Legislasi DPR RI, BHS mendorong Kementerian Perhubungan segera melaksanakan kampanye keselamatan (safety campaign) pelayaran. Ia menegaskan bahwa Indonesia telah memiliki standar keselamatan yang sangat ketat melalui aturan SOLAS (Safety of Life at Sea) dan regulasi turunan dari IMO serta ISM Code.
“Indonesia adalah satu-satunya negara yang mewajibkan kapal penyeberangan tunduk pada aturan klas internasional selain dari BKI dan Kemenhub. Ini harus terus dikampanyekan dan di-refresh kepada semua pihak yang terlibat,” ujarnya.
Baca juga: Bambang Haryo Minta Pemerintah Behani Aturan Tegas di Terminal Mangkang
BHS juga menekankan pentingnya pembenahan fasilitas pelabuhan, seperti perlindungan break water, alat ukur berat kendaraan, dan pengaturan posisi kendaraan di atas kapal agar stabilitas dan daya apung kapal tetap terjaga.
“Jangan sampai terjadi lagi stabilitas negatif seperti pada kasus KMP Tunu Pratama Jaya. Dermaga juga harus memenuhi standar agar arus laut tidak mengganggu kapal saat bersandar,” tutup BHS.
Dengan berbagai dorongan dan pernyataan tersebut, BHS berharap sistem pelayaran penyeberangan nasional dapat terus ditingkatkan hingga mencapai zero accident.