SEMARANG, Jatengnews.id – Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB COP30 yang akan digelar tahun depan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah menilai bahwa komitmen pemerintah daerah dalam menangani krisis iklim masih jauh dari harapan.
Direktur WALHI Jateng, Fahmi Bastian, menegaskan bahwa isu global yang dibahas di COP30 harus diterjemahkan secara serius dalam kebijakan lokal, khususnya terkait perlindungan hutan dan kawasan pesisir.
Baca juga : Walhi Jateng dan LBH Semarang Tolak Pengelolaan Tambang untuk Ormas
Menurut Fahmi, salah satu tema besar COP30 adalah perlindungan hutan tropis sebagai benteng terakhir dalam menghadapi krisis iklim. Hal itu seharusnya menjadi alarm bagi Jawa Tengah yang saat ini menghadapi penyusutan hutan di daerah pegunungan maupun kawasan mangrove di pesisir.
“Kalau kita melihat dalam konteks krisis iklim, hutan kita di Jawa Tengah semakin menipis. Di pegunungan menipis, apalagi hutan mangrove di pesisir,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar di Semarang, Sabtu (15/11/2025).
Fahmi menegaskan bahwa ekosistem mangrove adalah salah satu hutan tropis penting yang mampu memitigasi dampak krisis iklim, mulai dari abrasi hingga rob. Namun, ia menyayangkan bahwa kebijakan daerah justru tidak menunjukkan keberpihakan pada perlindungan pesisir.
“COP membahas krisis iklim, tapi kebijakan daerah tidak melihat itu. Pengrusakan kawasan pesisir dan hutan di wilayah atas tetap dibiarkan. Komitmennya tidak jelas,” tegasnya.
Fahmi juga mengungkapkan bahwa kondisi pesisir utara Jawa Tengah semakin kritis. Berdasarkan catatan WALHI, penurunan muka tanah di beberapa wilayah, termasuk Pekalongan, mencapai 8 hingga 15 cm per tahun.
“Rata-rata 8 cm, tapi dulu bahkan pernah sampai 12–15 cm,” jelasnya.
Ia menilai bahwa tekanan industri, reklamasi, dan alih fungsi kawasan pesisir memperburuk kerentanan masyarakat terhadap banjir rob dan abrasi.
Krisis iklim di Jateng tidak terbatas pada pesisir. Daerah pegunungan seperti Banjarnegara juga mengalami bencana longsor hampir setiap tahun. Fahmi menyebutkan bahwa hilangnya kawasan penyangga akibat deforestasi menjadi penyebab utama rapuhnya wilayah atas.
“Kawasan yang menjadi penyangga sudah hilang. Deforestasi dan perubahan fungsi kawasan membuat daya dukung wilayah berkurang. Jadi longsor makin sering terjadi,” katanya.
WALHI menilai bahwa pemerintah Jawa Tengah harus melakukan evaluasi daya dukung dan daya tampung wilayah secara menyeluruh. Menurut Fahmi, Jateng tidak bisa terus digenjot sebagai destinasi investasi tanpa mempertimbangkan beban ekologis.
“Tidak mungkin Jawa Tengah selalu digenjot investasi kawasan industri. Itu hanya memperparah kebencanaan, terutama di pesisir utara,” ujarnya.
Ia menilai kebijakan ekonomi daerah tidak seharusnya mengabaikan kapasitas ekologis lingkungan.
Fahmi menilai perlunya audit lingkungan terhadap seluruh kebijakan pembangunan di Jawa Tengah. Audit lingkungan tersebut akan menilai apakah Jateng masih mampu menahan beban industri, infrastruktur, dan perubahan fungsi lahan yang terus terjadi.
“Evaluasi daya dukung, daya tampung itu kan audit lingkungan. Kita harus melihat ulang apakah Jateng masih mampu menahan beban kawasan industri dan infrastruktur,” jelasnya.
WALHI Jateng berharap COP30 menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki arah kebijakan pembangunan. Menurut Fahmi, tanpa komitmen kuat menjaga hutan, mangrove, dan fungsi ekologis wilayah, pembahasan tingkat global hanya akan menjadi seremonial.
Baca juga : Walhi Jateng Desak Calon Pilgub Jateng Komitmen Selamatkan Lingkungan
“Isu global harus ditarik ke daerah. Kalau hutan rusak, pesisir rusak, bagaimana kita bicara komitmen iklim?” tutupnya. (03)







