SEMARANG, Jatengnews.id – Lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) di Jawa Tengah mulai menunjukkan dampak sosial serius.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memperingatkan bahwa gelombang PHK besar-besaran, terutama pasca pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), berpotensi memicu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan bahkan teror di lingkungan kerja.
Wakil Ketua LPSK, Sri Nurherwati, menyebutkan bahwa lembaganya mencatat peningkatan kasus permintaan perlindungan terkait KDRT yang dipicu konflik keluarga usai kehilangan pekerjaan.
Baca juga: PT Sritex Bangkrut, 10 Ribu Karyawan Terkena PHK
“Dipicu oleh kepala keluarga tidak lagi bekerja, banyak pasangan mengalami tekanan rumah tangga yang berujung pada KDRT. Ini menjadi salah satu bentuk tindak pidana yang kami tangani,” ujar Sri, Sabtu (2/8/2025).
Tak hanya di ranah domestik, kekerasan juga merembet ke tempat kerja. LPSK mengungkap sejumlah kasus di mana pasangan yang kehilangan pekerjaan melakukan intimidasi terhadap pasangannya yang masih bekerja, bahkan meminta perusahaan memecat mereka.
“Ada suami yang meneror istrinya di kantor, bahkan memaksa atasan sang istri untuk memberhentikannya. Ini bentuk kekerasan berbasis relasi kuasa yang tidak boleh dibiarkan,” tegas Sri.
Data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyebutkan, hingga Juli 2025, Jawa Tengah mencatatkan jumlah PHK tertinggi di Indonesia, dengan total 10.995 kasus. Mayoritas berasal dari Sritex Group yang resmi mem-PHK 10.965 karyawan setelah dinyatakan pailit pada Februari 2025.
Situasi ini, menurut Sri, tidak hanya berdampak pada ekonomi keluarga, tetapi juga berpotensi meningkatkan kerentanan terhadap kekerasan, terutama bagi perempuan dan anak-anak.
LPSK kini menangani sekitar 2.000 permintaan perlindungan, dengan kekerasan seksual dan KDRT mendominasi. Sri mendesak pemerintah daerah, khususnya Jawa Tengah, untuk segera mengambil langkah konkret dalam merespons potensi krisis sosial ini.
Baca juga: LPSK Dampingi Saksi Polisi Tembak Mati Siswa Diduga Ada Intimidasi ke Korban
“Kami mendorong pemerintah daerah untuk tidak hanya fokus pada solusi ekonomi. Sistem perlindungan sosial, termasuk layanan psikologis dan hukum bagi korban kekerasan, harus diperkuat,” ujar Sri.
Menurut LPSK, tekanan ekonomi akibat PHK tidak boleh dianggap sepele. Selain berisiko memicu konflik rumah tangga, kondisi ini juga bisa menurunkan produktivitas kerja dan menciptakan lingkungan kerja yang tidak aman.
“Fenomena ini adalah peringatan dini. Jangan sampai tekanan ekonomi melahirkan kekerasan baru di dalam rumah maupun di ruang publik,” pungkas Sri.(02)